Responsive Ads Here

Monday 28 September 2015

Adu Nyali di Arena Tinju Adat 'Sagi' Soa


SOA/NGADA, vigonews.com - Adrenalin  mulai berpacu ketika saya merapat di kampung Piga, tempat digelarnya tinju adat Sagi suatu waktu, ketika tabuhan gong gendang yang terbuat dari bambu kering semakin jelas saat memasuki kampung. Masyarakat tak terhitung jumlahnya sudah memenuhi arena di kampung piga  yang berbentuk persegi panjang – utara selatan – dengan peo di tengahnya.
Di sana terlihat  dua kubu saling berhadap-hadapan di arena. Tabuhan gong gendang tiada henti-hentinya. Tua-tua mosalaki terlihat melantunkan nyanyian diiringi tetabuhan. Kedua kubu berbalas pantun sedikit mengejek seraya menari hingga sekali-sekali masuk hingga ke tengah arena laga. Masing-masing kubu menyiapkan jagoannya untuk masuk arena pertarungan. Nyanyian dan pantun terus menggelegar. Suasana makin memanas hingga mengantar masing-masing petarung di arena tinju di tengah kampung. Suasana yang semarak namun menegangkan. Sorak-sorai penonton seakan mendorong para petinju lebih hebat ke arena pertarungan. “Kalau saya saja tersulut untuk bertarung bagaimana dengan para petinju yang siap berlaga?”, pikir saya.


Ini benar-benar tontonan yang mengasyikan. Perpaduan antara ritual adat dan hiburan, baik bagi orang di kampung itu maupun mereka yang datang dari luar. Baik bagi mereka yang turun lasung di arena pertarungan maupun yang hanya sekedar menonton. Sudah tentu adrenalin para petarung naik lebih tinggi hingga kedua petarung beradu jotos dan saling jual beli pululan. Di tangan petarung jelas bukan sarung tinju yang dikenal dalam dunia olah raga. Karena ini bukan olahraga tinju, tetapi ritual adat tinju sagi.
Bagaimana para petarung bisa sampai di arena? para petinju yang bertarung biasanya dipilih secara acak dari para penonton oleh seorang anggota komite Mosa. Pertandingan menggunakan alat tradisional, terbuat dari ijuk enau yang sudah dipintal dan dibuat sedemikian rupa hingga berbentuk elips sebesar genggaman tangan orang dewasa yang disebut kolo tali atau ta’i kolo. Kedua petarung mengenakan ikat kepala tradisional (Lesu), syal untuk melindungi dada mereka, dan sarung tradisional yang disebut Ragi.



Kedua petarung dengan masing-masing pembantu yang dinamakan sike, maju berhadap-hadapan  di tengah arena, diiringi dengan tabuhan gong gendang yang terbuat dari bambu kering diramaikan dengan nyanyian pantun berbalas pantun. Suasana ini seakan mengaduk-aduk hasrat para petarung segera beradu pukul. Sagi  selain sebagai suatu ritual adat, tetapi juga merupakan adegan adu ketangkasan. Siapa yang cekat dan piawai memang bisa menjadi pemenang dalam pertarungan itu, apalagi berhasil melukai lawannya. Jadi bertubuh kekar sekalipun bukan jaminan bakal memenangkan pertarungan ini. Strategi bertarung memang diperlukan dalam adu ketangkasan ini.
Berapa ronde Sagi  bisa berlangsung? Setiap ronde berlangsung  kurang lebih selama tiga menit dan waktu jedah satu menit. Pertarungan bisa tiga ronde atau lebih tergantung kesepakatan dan kesiapan masing-masing petinju. Selesai bertarung setelah wasit mengumumkan pemenangnya kedua petarung berangkulan dengan penuh sportifitas sebagai tanda perdamaian.


Menurut Tokoh adat Piga Mikhael Gaba Mote, Sagi merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat dalam kampung atas hasil panen yang diejawantahkan dalam bentuk ritual tinju tradisional (adat). Jadi, Sagi bukan sekedar adu ketangkasan saja. Petinju dari kedua kubu tersebut biasanya para pemuda yang dipilih secara acak dari kerumunan penonton yang menyaksikan pagelaran tinju adat. Para petinju dipilih oleh Mosa (panitia) acara. Peralatan tinju yang dipakai masih sangat tradisional, yaitu berupa tanduk kerbau yang dilapisi dengan ijuk (tai kolo atau Woe). Sedangkan pakaian yang digunakan berupa Lesu (ikat kepala), selendang (untuk penutup dada), dan Ragi (kain tenun penutup tubuh bagian bawah). Penentuan kegiatan Sagi pada malam Dero biasanya mengikuti siklus peredaran bulan.
Gaba Mote lebih lanjut menguraikan, secara garis besar, Sagi memiliki dua tahapan yang bisa disaksikan oleh orang luar kampung, yaitu: Kobe Dero,  tahapan  sebelum tinju  (sagi) dimulai. Acara ini diawali dengan ritual terhadap peralatan tinju yang akan digunakan. Acara ini dihadiri oleh mosalaki (sesepuh adat) yang berwenang menyelenggarakan acara. Acara kemudian dilanjutkan dengan tarian dan nyanyian sambil mengitari api unggun. Biasanya tarian ini diadakan ditengah kampung. Kegiatan menari sambil menyanyi ini dilakukan hingga menjelang matahari terbit.
Tahapan berikutnya adalah Sagi  itu sendiri, yang merupakan puncak dari semua ritual ucapan syukur. Sagi ini digelar di tengah perkampungan. Tinju adat ini dilakukan sampai puluhan pasangan. Tiap pasangan petarung terdiri dari beberapa ronde tergantung dari kesanggupan kedua petinju dari kubu yang berlawanan di tiap pasang yang saling berhadapan. Selesai bertinju, kedua petinju akan saling bersalaman dan berpelukan sebagai tanda kekeluargaan dan berarti duel selesai di arena. Acara tinju tradisional ini berlangsung sampai matahari terbenam. 



Dalam Sagi  kata tokoh adat Piga Gaba Mote memang selalu ada darah. Setiap darah yang mengucur dari tubuh para petinju mengambarkan berkah yang berlimpah pada setiap tahunnya dan dihargai dengan rasa syukur. Selain itu, tinju tradisional ini juga berfungsi sebagai alat untuk memperkuat komunikasi, persaudaraan dan kekerabatan di antara warga desa. Semangat persaudaraan sangat dijunjung dan dihormati yang sudah tersirat dalam peraturan-peraturan mereka sehingga tidak ada pecundang atau pemenang dari pertandingan ini.
Dikatakan Gaba Mote, Sagi di Soa,  khususnya di Piga adalah wujud perayaan syukuran atas hasil panen. Bagian akhir yang merupakan ritual penutup dari rangkaian sagi bernama Sogo, sebuah ritual dengan harapan tahun berikutnya memperoleh hasil panen yang lebih baik. Sogo menjadi ciri khas ritual Sagi di Piga dan Libunio, berbeda dengan pagelaran sagi di beberapa kampung lain di Soa.
Sogo merupakan ritual penutup dari semua rangkaian Sagi. Begitu matahari terbenam tinju akan berakhir, disusul dengan suasana sepi (mirip ritual nyepi di Bali). Pada saat ini kegelapan mulai ‘merayap’, para penonon mulai pulang dan warga kampung ke rumahnya masing-masing. Lampu-lampu tidak boleh dinyalakan. Suasana ini biasanya berlangsung beberapa jam. Sogo diakhiri dengan ritual belah kelapa muda dengan maksud sebagai pendinginan karena sebelumnya ada pertarungan, dan juga biasanya ada darah. Belah kelapa juga untuk memprediksi panenan tahun berikutnya. Karena itu, kata Gaba Mote, Sogo  di Piga harus dilaksanakan dengan baik sehingga hasil panen berikutnya akan lebih baik. Sagi di Soa biasanya berlangsung sejak April hingga bulan Juni setiap tahun. (Emanuel Djomba)*

No comments:

Post a Comment