Responsive Ads Here

Wednesday 28 February 2018

Budaya Kritik Sosial dalam Ritual “W’te Muri” Nginamanu Selapu Lika

Anak sekolah memaknai budaya 'Kritik Sosial' dalam balutan syukur ritual W'te Muri -   

WOLOMEZE, vigonews.com – Siswa SDK Tanawolo, Kecamatan Wolomeze, Minggu (25/02/2018) gumuli literasi budaya dalam ritual adat “W’te Muri” di kampung Nangge, Desa Nginamanu. Melalui literasi budaya, siswa menggali berbagai pengetahuan dan tindakan budaya yang kaya akan nilai dan kearifan lokal dan bermanfaat  dalam membentuk jati diri.

Ritual “W’te Muri”  di kampung Nangge, Desa Nginamanu adalah bagian terakhir dari rangkaian ritual yang sama yang diawali di Kampung Maladhawi – Desa Nginamanu Selatan, dan Kampung Tajo di Desa Nginamanu.

Sebelum mengikuti ritual ini para siswa dilatih menyanyikan syair/pantun adat sarat kritik yang dikaitkan dengan  realitas sosial. Ketika ritual ini diselenggarakan, siswa pun turun ke kampung. Sambil bergandengan tangan, berkeliling di halaman kampung menyanyikan syair/pantun adat. Nyanyian adat yang dilantunkan dalam nada ritmis itu seakan mengiringi irama hentakan kaki dengan lenggokan tubuh gemulai.

Cara menyanyikan lagu dengan syair/pantun adat ini, diawali dengan intro vocal (ala nari) oleh salah seorang dalam kelompok itu. Beberapa detik, seorang lainnya menyanyikan solo (kedhi nari) – segera setelah itu diikuti koor (rulu) dengan nada berbeda dari kelompok yang beriringan. Demikian selanjutnya, solo menyanyikan syair dan koor mengiringinya – hingga intro vocal berikutnya.
 
Para siswa bergandengan tangan sambil bebalas pada ritual syukur W'te Muri
Entah berapa kali para siswa mengelilingi kampung hampir seluas lapang sepak bola itu. Syair/pantun adat yang dilagukan itu seakan berbalas-balasan dengan kelompok orang muda dan para tua-tua baik laki maupun perempuan di sudut lain di kampung itu dalan nada syahdu.

Kelompok tua kadang menyanyikan syair adat dengan tempo lambat yang disebut “Nari Zoe” – nyanyian besar dan lambat – meski  tidak selalu. Sementara kelompok muda dan anak-anak biasanya menyanyikan syair adat dengan tempo cepat yang disebut “Nari Kila” atau “Nari Veti”. Disebut “Nari Veti” karena biasanya kelompok penyanyi adat ini saat beriringan disemangati lecutan cemeti dengan bunyi nyaring di belakangnya. Ini menjadi penyemangat para penyanyi adat untuk bernyanyi sambil menghentakan kaki dan lenggak lenggok tubuh dalam irama menarik.

Selain “Veti”, pesta adat “W’te Muri’ biasanya juga diramaikan dengan permainan “mboro” – semacam caci di Riung. Namun cara memukul lawan bersifat spontan dan tanpa ‘tipuan’. Ini atraksi yang menarik saat ritual syukur adat bagi Nginamanu Selapu Lika.

Biasanya, kelompok tua melantunkan pantun kritik sosial kepada orang muda dan anak-anak. Begitu juga sebaliknya anak muda dan anak-anak juga mendaraskan pantun berbagai tema sarat kritik kepada orang tua atau satu sama lainnya. Seperti yang terjadi pada “W’te Muri” belum lama ini. “Anak-anak mendaraskan pantun dalam bentuk nyanyian adat tentang realitas banyaknya teman mereka yang putus sekolah karena harus tinggal di rumah bantu orang tua,” kata Petronela Maza, guru pendamping siswa SDK Tanawolo.

Menurut dia seminggu sebelum “W’te Muri” siswa-siswi sudah berlatih untuk membuat pantun/syair tentang realitas sosial yang ada di sekitar mereka, yang kemudian dinyanyikan sesuai  dengan pola lagu adat setempat.
 
Kegembiraan syukur diwujudkan dalam nyanyian syair/pantun adat sarat kritik sosial 

Pada hari ritual adat digelar, kata Petronela, anak-anak sudah siap ikut kegiatan dengan berpakaian adat dan asesoris seperti bere tempat sirih pinang (mbere untuk pria dan mbae oka untuk yang perempuan).

Ritual adat W’te Muri”  yang kini mulai berlangsung rutin – baru dihidupkan kembali itu – mendapat perhatian siswa sekolah dan orang muda. Para guru memanfaatkan momen ini dengan  memberi ruang kepada siswa untuk berapresiasi dalam kegiatan budaya semacam ini.

Ketua Dewan Pertimbangan Forum Masyarakat Adat Nginamanu Selapau Lika, Edu Edo Reke menjawab vigonews.com, Minggu (25/02/2018) memberi apresiasi atas partisipasi siswa dan generasi muda. “Ini menunjukkan bahwa generasi muda kita sebenarnya mencitai budaya mereka sendiri, hanya perlu pewarisan dari orang tua. Ini penting karena di dalamnya terkandung nilai dan kearifan lokal yang dapat membentuk karakter orang muda,” katanya.

Edu Edo menyampaikan terimakasih kepada para guru yang sudah melibatkan siswa dalam  pesta adat “W’te Muri” tahun ini di tiga kampung berbeda. Kegiatan budaya ini, menurut dia  akan memperkaya siswa dalam mengembangkan jati diri mereka, karena budaya menunjukkan jati diri seseorang. Karena itu, Edu Edo yang juga Ketua LPA Nginamanu Barat itu berjanji, ritual syukur adat ini akan terus dilaksanakan tahun-tahun mendatang.

Komunikasi Tradisional

Sementara Ketua Forum Nginamanu Selapu Lika, Emanuel  Djomba mengatakan, “W’te Muri” adalah ritual syukur  bagi masyarakat adat Nginamanu Selapu Lika (Nginamanu Raya). Ritual “W’te Muri” dalam budaya Nginamanu Selapu Lika merupakan bentuk komunikasi tradisional yang berisi ungkapan syukur kepada Tuhan atas pemeliharaan dan penyertaan-Nya dalam hidup sehari-hari, dilimpahi melalui kesehatan, hasil pangan yang baru, seperti jewawut (W’te), hasil sayuran dan  kacang-kacangan yang baru (Muri) dari ladang.
 
Kalangan muda dan tua bergembira dalam melagukan pantun-pantun  adat
“W’te Muri” adalah bentuk syukur kecil yang dalam siklus budaya Nginamanu Selapu Lika mencapai puncak pada ritual ‘Tale-Kekaea’yang biasanya jatuh pada bulan Mey setiap tahun di Kampung Maladhawi – Nginamanu Selatan. Ritual ini ditandai dengan ‘Bhey Uwi’ (Persembahan hasil baru dari ladang dan ritual makan ubi).

Pada malam sebelum rame ria “W’te Muri”, keluarga berkumpul dalam suasana penuh kekerabatan. Ini menjadi momen special karena keluarga yang dari jauh juga akan datang dengan bawaan baik sebagai anak “weta”  maupun anak “nara.” Biasanya dalam momen ini hubungan kekeluargaan dipererat  sehingga tidak melupakan satu sama lain.

Malam itu pemegang adat (Mori Adha) akan membuka dengan ritual pembuka, dan segera setelah itu  sudah dapat menyanyikan syair/pantun adat. Hingga keesokan harinya kegiatan di rumah-rumah maupun halaman kampung terus berlangsung, sembari menerima tamu yang masih akan datang ke kampung itu.

Waktu ini adalah waktu untuk bersukacita dalam pernyataan syukur atas anugerah Tuhan melalui berkat hasi ladang. Dalam suasana gembira ini menjadi waktu untuk menyanyikan syair/pantun adat, namun mengandung pesan sosial termasuk kritikan terhadap berbagai ketimpangan dalam hidup bermasyarakat.
 
Kritik dalam balutan syair/pantun adalah cara menegur dalam seni melalui ritual W'te Muri.
Biasanya dalam momen ini terjadi balas pantun antara satu dengan yang lain. Antara yang tua dan muda, maupun sebaliknya.  Namun tidak ada yang sampai tersinggung. Inilah seharusnya Nginamanu Selapu Lika menyampaikan teguran dan kritik kepada sesama saudaranya bila melakukan tindakan yang salah.

Pesannya, bahwa dalam semangat “W’te Muri” terjadi saling asah (saling mengingatkan), saling asih (saling menebar cinta kasih atau rasa saling menyayangi ) dan saling asuh (saling memelihara, menjaga). Falsafah hidup  Nginamanu Selapu Lika yang sarat nilai dan kearifan. Tidak ada kekerasan di sana. Semua masalah bisa diatasi dengan penuh kasih untuk mendatangkan kebaikan.

Kepala Desa Nginamanu, Yohanes Don Bosco Lemba mengatakan, ritual “W’te Muri” mengandung pesan sosial bernilai yang sudah diwariskan turun-temurun. Karena itu budaya seperti ini harus terus dilestasikan. Ini juga menjadi komitmen pemerintah desa sebagai modal sosial dalam menyukseskan pembangunan.

“Kita beri apresiasi para tua-tua adat yang berkomitmen menyuburkan lagi ritual-ritual kaya nilai ini. Kita juga beri apresiasi kepada Forum Nginamanu Selapu Lika – melalui prakarsanya mewujudkan Nginamanu yang satu dalam bahasa dan budaya. Dengan prakarsa itu, tahun ini ritual “W’te Muri”  dapat diselenggarakan kampung demi kampung seperti sedia kala,” kata Bosco. (Tim Redaksi vigonews.com)***

No comments:

Post a Comment