Responsive Ads Here

Sunday 15 November 2015

Tingkatkan Ekspor, Petani Harus Tinggalkan Kopi 'Bebek'



BAJAWA/FLORES,vigonews.com - Guna memenuhi permintaan pasar dunia, para petani diharapkan meninggalkan kopi 'bebek'. Harapan itu dikemukakan dua Peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia,  Djoko Soemarno dan Retno Hulupi.

Dalam kegiatan Work Shop Pendampingan Pengelolaan Kopi Arabika Flores Bajawa (AFB), kerjasama antara pemerintah kabupaten Ngada dengan Puslitkoka  Indonesia, di Cafe Maidia, Rabu (11/11/2015) menjawab vigonews.com,  Djoko Soemarno mengatakan kopi 'bebek' merugikan petani karena sulit tembus pasar dunia.

Kopi 'bebek' sebenarnya sebuah terminologi tidak defenitif, yang bermakna sama dengan kopi asal-asalan. Mengacu pada kebiasaan petani menjemur kopi di tanah sehingga diinjak-injak bebek, ayam, anjing, dan binatang lainnya,  bahkan manusia.

Proses kopi semacam ini tidak memenuhi standar  karena tidak higienis. Proses ini menyebabkan harga kopi merosot, dan sulit tembus pasar ekspor. Sudah tentu kopi bebek seperti halnya kopi robusta tidak memenuhi selera pasar dunia.

Itu sebabnya, kata Djoko, saatnya petani tinggalkan kopi 'bebek' karena secara ekonomi sebenarnya merugikan petani. Proses sudah harus diperhatikan dari hulu, dari penanaman, perawatan, hingga proses panen harus sesuai SOP. Kopi yang diproses  harus dijemur di para-para (rak) bukan di tanah. Jadi Prosesnya memenuhi  standar. 

Work shop pengembangan kopi AFB, seperti yang digelar ini, kata Djoko rutin dilaksanakan setiap akhir tahun untuk melakukan evaluasi guna mengetahui capaian. Harapannya, dari para pelaku kopi mendapat masukan sebagai acuan bagi Puslitkoka Indonesia, sehingga bisa merencanakan tahun depan buat apa.

Dari evaluasi, AFB sudah baik secara keseluruhan dari hulu sampai hilir, tetapi masih ada yang perlu diperbaiki baik dari sisi kelembagaan, mutu, produksi, dan pemasaran.

Puslitkoka Indonesia sudah melakukan pendampingan kepada petani kopi di Bajawa yang memproduksi kopi arabika selama 12, sehingga kopi ini memiliki branding setelah masuk pasar ekspor.Sejak tahun 2004, dua tahun diantaranya melakukan kajian dan pendalaman potensi. Sedang 10 tahun berikutnya Puslitkoka Indonesia melakukan pendampingan intensif.

Jika dilihat dari waktu efektif pendampingan sudah berjan satu dekade. Menurut Djoko, selama satu dekade bisa dikatakan cukup maksimal karena kita hadapi petani yang punya banyak kepentingan. "Mereka banyak memahami, tetapi banyak petani kita belum bergabung dengan UPH," katanya.

Tantangan lain, kata Djoko bahwa orang baru mau melakukan perubahan kalau sudah ada buktinya."Nah sejauh mana bukti itu. Ini yang perlu kita ciptakan. Ada juga soal kuktur masyarakat kita, selain juga masalah teknik. Sosial kuktur perlu dimanage/rekayasa, sehingga perubahan yang kita harapkan bisa dicapai," jelas Djoko.

Namun, ditambahkan saat ini AFB sudah jadi branding karena sudah tembus pasar dunia. Di sana permintaan AFB cukup besar sayangnya produksi masih terbatas. Potensi kopi Ngada sekitar 5.000 hektar ternyata belum digarap maksimal. "Setelah ada permintaan besar paling tidak sudah bisa jadi bukti bahwa kalau proses produksi memenuhi SOP maka secara ekonomi harga kopi akan tinggi. Kita harap ini menjadi pembuktian bagi petani sehingga tidak lagi proses asal-asalan, alias tinggalkan sudah itu kopi 'bebek'," jelas Djoko.

Saat ini produksi kopi gelondong merah terus meningkat, hanya saja kemampuan menampung maasih terbatas. Banyak petani belum bergabung ke UPH. Sehingga masih banyak kopi yang diproses asal-asalan dan masuk pasar 'gelap'.

Karena itu ke depan diharapkan, pendampingan diharapkan akan terus memperkuat yang sudah ada. Alasan banyak godaan dari pasar 'gelap' yang ingin berebut sehingga kalau organisasai petani tergoda akan berpengaruh pada produktifitas kopi standar. "Ini jadi harapan kita. Kita akan lakukan intensifikasi yang sudah ada dan ekstensisifikasi/memperluas volume lahan tidur yang diperkirakan masih sekitar 5.000 hektar lagi.

Kendala yang dihadapi berkaitan dengan SDM pelaku terutama petani adalah menyangkut pengetahuan dan pola pikir. Untuk meningkatkan produktifitas memang tidak bisa jalan sendiri, perlu terus  penguatan kelembagaan, pengelolaan, pemasaran dan lain-lain yang dilakukan bersama-sama. "Kita sudah mampu kelola sesuai brandin, tapi banyak sisi belum sesuai," katanya. (ch)*

Insert foto: Djoko Soemarno (Kanan) dan Retno Hulupi, peneliti dari Puslitkoka Indonesia




No comments:

Post a Comment