Responsive Ads Here

Monday 10 October 2016

Mantan TKW Itu Lulus Cum Laude


Vigonews.com, BAJAWA - Sejak Juli lalu halaman media – khususnya media sosial – diwarnai ‘ritual’ tahunan wisuda. Salah satu lembaga yang mewisuda sarjana adalah STKIP Citra Bakti, Malanuza. Memang, menjadi sarjana itu  impian banyak orang muda. Sebagian orang bisa menggapai dengan banyak kemudahan, sebagian belum tentu. Karena bisa meraih impian itu, pintar saja belum cukup. Uang  kadang jadi batu sandungan.

Sosok yang satu ini membuktikannya, bahwa pintar saja belum cukup. Dialah Maria Magdalene Muke. Gelar sarjana akhirnya diraihnya. Tetapi dia harus berpeluh selama empat tahun, agar dapat melewati empat tahun berikutnya menuju cita-citanya menyandang gelar sarjana pendidikan.


Kini dara manis yang akrab disapa Mey itu menyandang gelar S.Pd. Bukan itu saja, Mey bahkan membuktikan  sebagai lulusan terbaik dengan predikat kelulusan cum laude alias lulus dengan pujian. Dari 177 wisudawan STKIP Citra Bakti Ngada tahun 2016, kelahiran Ndora, Nagekeo 10 Mey 1987 ini meraih nilai IPK tertinggi 3,89. Mencengangkan! Hampir mendekati predikat zuma untuk kategori tertinggi dalam kelulusan.


Di kelas, Mey tergolong mahasiswa yang cerdas. Selama kuliah empat tahun, anak kedua dari Yulius Wolo dan Yolenta Lobe ini aktif dalam kegiatan paduan suara. Kemampuan Mey mengolah vokal telah membuatnya ikut membesarkan Vull Voice - Grup Paduan Suara - pimpinan Veronika Ulle Bogha, semakin dikenal di Ngada bahkan hingga Nagekeo. Dalam paduan suara salah seorang anggota DPRD Ngada ini, Mey menjadi Konduktor dan terus  mengasah kemampuan dalam olah vokal. Tidak heran, jika sebelum wisuda sosok yang ramah dan murah senyum ini banyak ditawari menjadi guru di sejumlah tempat. Memang dia menunjukkan kualitas tersendiri, bahkan belakangan dia sering diminta untuk melatih kelompok paduan suara di sejumlah tempat.


Menjadi sarjana dengan predikat cum laude memang mengundang decak kagum, karena anak kedua dari empat bersaudara ini memang punya nilai plus yang mengantarkannya siap bersaing di dunia kerja. Mungkin karena itu, kepada Media CERMAT suatu kesempatan dia menuturkan,  tidak pernah takut kalah bersaing di dunia kerja.


Apa pandangan alumni SMKN 1 Ende tahun 2006 ini? "Dunia kerja butuh pribadi unggul dan profesional, tidak hanya andalkan ijasah dan IPK tinggi, tetapi harus bisa bersaing," katanya menjawab CERMAT di sela-sela kegiatan wisuda Agustus lalu.


Mey memang meraih prestasi gemilang hari ini. Tetapi tidak banyak orang tau bagaimana alumni SMPS Supra Mataloko ini menggapai puncak cita-citanya. Siapa sangka hasratnya untuk meraih sarjana besar taruhannya. Empat tahun dia harus berpeluh dengan menjadi TKW di Malaysia. Dan empat tahun berikutnya adalah tahun-tahun baginya untuk mewujudkan cita-cita yang nyaris terkubur setamat SMA gara-gara orang tua tidak mampu membiayai kuliah.


Menjadi tenaga kerja di Malaysia tidak membuat cita-citanya padam. Hasratnya terus memendam. Selama empat tahun itulah waktu mengumpulkan biaya. Setelah merasa cukup mendapat biaya, Mey balik ke kampunnya.


Dengan modal uang dari negeri Jiran, Mey daftar untuk kuliah. Pilihannya adalah Perguruan Tinggi (PT) dekat kampung halamannya. Baginya, kualitas seseorang tidak selalu diukur dari PT mana dan berada di mana, tetapi juga dipengaruhi oleh kemauan pribadi dalam mengembangkan kemampuan diri.

Entah mengapa, menjadi sarjana selalu terngiang dalam benaknya. Waktu empat tahun menjadi TKW tidak mampu melunturkan harapannya sejak kecil. Bahkan sekembali dari Malaysia, Mey mengaku ada yang sudah mau melamar, namun ditolaknya dengan hormat.

Setamat di SMKN 1 Ende, Mey sempat tinggal di luar hingga dia memutuskan untuk merantau. Tahun 2008 sosok yang dikenal piawai dalam memimpin paduan suara ini diam-diam hengkang ke Malaysia. Kedua orang tuannya baru tahu setelah Mey sudah di Maumere. "Saya waktu itu agak kecewa, karena saya minta sama orang tua supaya kuliah, tetapi orang tua bilang tunggu dulu," cerita Mey yang mengaku sempat juga kuliah di undana jurusan Matematika tetapi urung di bulan-bulan pertama.

Waktu itu, kedua orang tua Mey memang tak sanggup melanjutkan Mey ke PT, karena  adiknya masih di SMA. Kondisi ini memang berat, hingga orang tua bilang bersabar sampai adiknya selesai. Namun jalan yang tampak buntu itu membuat Mey berpikir lain. Keputusannya harus pergi untuk mencari kerja. Dengan bekerja, pikir Mey, dia bisa mengumpulkan uang dan itu berarti dia bisa mewujudkan impiannya. Keputusan Mey untuk melewati jalan lain membuat kedua orang tuannya hanya bisa pasrah.

Sejak SMP hingga tamat SMA Mey yang sudah mulai dengan hoby olah vokalnya itu selalu bertanya dalam hati, "apa karena saya anak petani miskin yang tidak tamat SD,  tidak bisa jadi sarjana?" cerita Mey.

Pertanyaan itu selalu membuat Mey membatin. Hal itu yang membuat dia terus berpacu dalamberprestasi. Saat SMP, Mey mulai ikut lomba menyanyi Solo. Rasanya bangga sekali tampil di panggung. Dan, itu yang membuat Mey terus mengasah kemampuannya. dia masih ingat dengan lagu favoritnya kala SMP, yakni 'Mama Beta Ini Anak Siapa'? Entah kebetulan atau tidak lagu ini 'bak gugutan terhadap kondisi keluarganya. Tetapi 'gugatan' itu mendorong dia untuk membuktikan untuk mengubah nasibnya. Bahwa, anak petani miskin sekalipun mampu meraih prestasi akademik yang mencengangkan dan mampu bersaing.

Dunia kerja yang keras yang dilewatinya sebelum kuliah mengajarinya arti sebuah perjuangan. Bahwa meraih impian dan sukses butuh kerja keras dan kesetiaan menjalani. Ini yang bakal menjadikan  jalannya memasuki dunia kerja setelah jadi sarjana semakin lapang. "Dunia kerja tidak hanya butuh IPK tinggi tetapi juga kompetensi yang tinggi pula, sehingga mampu bersaing. Saya tidak malu jadi sarjana dari PT di desa, karena saya yakin mampu bersaing dan menjadi yang terbaik," beber Mey.

Apa yang didapat Mey selama kerja di Malaysia? Pengalaman sudah pasti. Tetapi lebih dari itu dia akhirnya dapat mengumpulkan uang sekitar Rp 40 juta dari empat tahun bekerja. "Setelah empat tahun, saya putuskan untuk mengakhirinya. Rencana itu baru diberitahu kepada kedua orang tua menjelang pulang ke kampung," katanya.


Selama bekerja di Malaysia, Mey merasa  Enjoy, meski berangkat ke sana memendam kecewa. "Saya senang, meski tantangan kerja luar biasa, karena dorongan untuk meraih cita-cita saya bisa melewatinya. Di sana saya tidak bisa seenaknya. Hasrat saya  kuliah, tetap besar. Rencana pulang tidak diijin majikan, karena mereka juga senang dengan kerja saya dalam menjalankan  usaha mereka. Tapi saya  sampaikan ke majikan bahwa pulang untuk sekolah, baru mereka beri ijin saya kembali ke Indonesia," kenang Mey.

Kecerdasan dan kecekatannya dalam mengelola pekerjaan usaha bos-nya membuat sang majikan enggan mengijinkannya pulang. Kemampuan Mey memang diragukan majikan bahwa dirinya tidak sekolah seperti pengakuan awalnya. Karena segala pekerjaan bahkan tanggung jawab untuk memberi latian kepada karyawan lain menunjukkan bahwa Mey orang berpendidikan. Dan itu baru terkuak ketika akan kembali ke kampung.

Mengapa Mey akhirnya memilih kuliah dan menjadi sarjana pendidikan? "Bagi saya guru itu beda saja.  Tetapi guru berkualitas tidak semua. Ada banyak guru yang kurang percaya diri dan ini sebenarnya mematikan kreatifitas. Kita harus yakin bahwa kita bisa," tegas Mey.

Kini Mey sudah menjadi sarjana. Meski dengan biaya sendiri, namun tidak membuatnya takkabur. Dia sangat menyayangi keluarga, karena dari sana dia dibentuk. Baginya kondisi yang serba kekurangan dalam keluarga bukan malapetaka, tetapi menjadi titik balik untuk berjuang menjadi yang terbaik."Bagi saya orang tua, apapun peran mereka, tetap menjadi sosok panutan dalam keluarga. Kelemahan mereka adalah kekuatan bagi saya sehingga saya mampu bangkit dan berdiri," kata Mey memaknai kehidupannya.(ch)***

No comments:

Post a Comment