Responsive Ads Here

Monday 12 March 2018

Refleksi Bonefasius Zanda: "Literasi Metanoia"



Oleh Bonefasius Zanda
Guru SMA Katolik Regina Pacis

Momen rohani melalui pelayanan Sakramen Tobat seperti yang terjadi di SMA Katolik Regina Pacis Bajawa, pekan ini, seperti menggelitik saya. Melalui momen rohani ini pertobatan merujuk pada metanoia dan literasi yang menyentuh cara berpikir dan menuntut kepekaan.

Perayaan sakramen tobat di Sekolah Katolik ini jika ditelisik,  tak lagi sekedar rutinitas belaka menjelang setiap perayaan besar keagamaan. Sebaliknya mengembalikan semangat  pertobatan sebagai sebuah metanoia berbasis literasi yang mengantarkan personal dari cara berpikir manusiawi menuju cara berpikir  Tuhan.  Karena cara berpikir Tuhan adalah cara berpikir yang sempurna, maka pertobatan memang tidak pernah berhenti sampai kita mati. Pertobatan haruslah merupakan aktivitas literasi berkelanjutan.

Semangat pertobatan di komunitas sekolah ini merupakan upaya yang terus menerus memancarkan wajah Kristus sebagai literat sejati yang rela menderita, wafat dan bangkit untuk menyelamatkan manusia.

Semangat pertobatan (metanoia) harus diakrapi oleh guru dan siswa meski dalam realitas kita masih terus jatuh, namun dengan berliterasi metanoia kita diberi semangat untuk bangkit kembali dari kejatuhan, sebagaimana diteladani Kristus Sang literat sejati.

Pertobatan orang percaya adalah perubahan cara berpikir. Dari cara berpikir anak-anak dunia ke cara berpikir anak Tuhan. Inilah yang disebut sebagai metanoia. Masalahnya, sejauh mana perubahan cara berpikir iru? Jika perubahan cara berpikir belum sampai seperti cara berpikir Tuhan, maka tidak boleh berhenti bertobat.

Cara berpikir yang berdayaguna bertolak dari apa yang didengar.karena iman timbul dari pendengaran, pengaran akan Firman Kristus (Roma 10:17). Dalam hal mendengar firman yang benar akan mencerdaskan roh. Hal ini membangkitkan kepekaan terhadap kehendak Tuhan dan gairah melakukannya. Bertolak dari cara berpikir Tuhan yang sempurna itulah, maka pertobatan memang tidak pernah berhenti sampai kita mati.

Ketika RD Dan Aka, Pr dan Pater Albert, OCD memberi pelayanan sakramen tobat, itu bukan sekedar  rutinitas tanpa makna. Namun sebaliknya, kedua imam ini sebenarnya masuk dalam proses berliterasi metanoia secara mendalam, sehingga terjadi dialektika spiritual antara pelayan dan yang dilayani. Dia aras ini, tugas para imam adalah ikut memancarkan wajah Kristus yang menderita untuk menebus dosa manusia, dan membimbing menuju cara berpikir Tuhan yang sempurna.

literasi metanoia adalah wahana mensuplai kekuatan baru, menjernihkan pikiran, serta membangun sebuah komitmen pribadi yang tangguh terkait pemurnian identitas sebagai individu yang beragama. Artinya individu bergama bukan saja dilegitimasi oleh KTP, tapi lebih daripada itu harus ditunjukkan dalam tutur dan aksi yang mampu memberdayakan diri dan juga sesama dari godaan-godaan yang sempit. 

Itu sebabnya, ajaran moral hendaknya dicintai dan dihayati secara benar. Relasi murid dan guru selalu didasari oleh semangat kerendahan hati untuk saling mendengar, saling belajar,  saling melengkapi satu sama lain. Sehingga terciptalah ruang belajar:" semua murid adalah guru dan semua guru adalah murid".

Selain itu, dapat terjadi pemurnian identitas. Guru mampu menempatkan dirinya dan juga murid mampu menempatkan dirinya pula. Dan niscaya kekerasan dalam dunia pendidikan pasti takan pernah ada. 

Oleh karena itu menghidupi literasi di sekolah yang dinafaskan  oleh semangat dan kesadaran metanoia adalah kebutuhan yang tetap dihidupi sepanjang masa. Dan sebuah Lembaga Pendidikan akan tetap menjadi rahim sumber kesejukan bagi guru dan murid yang pada akhirnya akan melahirkan generasi-generasi yang cerdas otak, otot, berintegritas, dan bermoral.***

No comments:

Post a Comment