Responsive Ads Here

Tuesday 17 October 2017

HPS di Paroki Kurubhoko: Pertanian Organik Sebagai Jalan Terang Menuju Kehidupan


KURUBHOKO – Rangkaian Hari Pangan Sedunia (HPS) digelar dan direfleksi oleh Gereja Katolik, Paroki Maria Ratu Para Malaikat (MRPM) Kurubhoko, 14 – 16 Oktober lalu. Ini pertama terjadi di Paroki yang baru diresmikan 11 September 2017 lalu. Kegiatan ini dimotori imam-imam OFM yang melayani paroki itu, bekerja sama dengan Yayasan Puge Figo, Pemerintah Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze dan simpatisan dari Kecamatan Soa dan Bajawa Utara (Batara).

Kegiatan yang dibuka oleh Provinsial OFM Provinsial St. Mikhael Indonesia Pater Mikhael Peruhe, OFM diikuti para fungsionaris pastoral, siswa SMPN Satap Kurubhoko, para tokoh masyarakat dan undangan lainnya.  Pater Mikhael secara khusus datang ke Kurubhoko setelah mengunjungi Komunitas OFM di Atambua, karena kepedulian OFM pada pertanian organik dengan kampanye ketahanan pangan.

Serangkaian HPS tersebut, dibuka dengan sesi seminar bertema: “Pertanian Organik Sebagai Jalan Terang – Mengembalikan Pangan Lokal ke Kebun Kita”, penanaman 100 anakan pohon di  di lahan pertanian terpadu gereja, Sabtu (14/10/2017), Misa HPS, dan pengumpulan berbagai jenis pangan lokal, minggu (15/10/2017) dan demo pengolahan pangan lokal oleh siswa SMPN Satap Kurubhoko didamping ibu-ibu PKK, Senin (16/10/2017).

Pater Thobias Harman, OFM dalam materinya ‘Memahami HPS dari Perpektif Iman Katolik’ mengawali sesinya dengan pertanyaan: ‘Mengapa Gereja Katolik terlibat dalam HPS setelah setahun ditetapkan oleh PBB tahun 1981?. Gereja katolik selalu berefleksi pada momen HPS bukan mau ikut trendy, atau ikut arus dunia, tetapi HPS berlandaskan pada pilar Iman Akan Allah.

Dikatakan Pater Toby yang juga Pastor Paroki Kurubhoko ini, HPS yang berlandas pada pilar iman akan Allah, bahwa Allah kita adalah Allah yang peduli. Allah yang diimani bukan hanya sebagai Allah Yang Maha Besar yang berada jauh dari manusia, tetapi Allah yang karena kasih-Nya peduli pada manusia. Allah yang memberi makan kepada manusia, dalam perjanjian lama dengan memberi makan waha dan mana, dan Allah yang bersabda ‘Akulah Roti Hidup’ – memberi diri sebagaimana dalam perjanjian baru.

Masih pada sesi seminar, Volunter Yayasan Puge Vigo, Kurubhoko – sebuah yayasan yang peduli pada persoalan ekologi – Nao Remond, menyampaikan materi tentang ‘Agroekologi sebagai jalan terang menuju kedaulatan pangan dan kemunitas petani’.

Nao Remond yang juga gencar kampanye budidaya kembali tanaman-tanaman langkah termasuk pangan lokal, memberikan gambaran tentang tema menjadi beberapa bagian, antara lain tentang agroekologi itu sendiri;  agrikultur  bunuh diri atau pertanian konvensional sebagai jalan buntu; jalan terang melalui sikap menghargai keunggulan proses alam dalam produksi pangan; dan membangun kesadaran, jati diri dan kenyamanan masa depan petani.
 
Seminar Pertanian organik dan ketahanan pangan serangkaian HPS di Paroki Kurubhoko menarik perhatian siswa SMPN Satap Kurubhoko
Dikatakan,  perang dunia kedua telah mengubah wajah pertanian dengan  Green Revolution atau perang melawan alam. Pertanian jadi bagian dari sistem kapitalis, beralih dari produksi pangan ke produksi komoditi dagangan. Pertanian konvensional telah menyebabkan hilangnya kedaulatan petani dan produksi pangan, sehingga menghilangkan kemandirian petani dan produksi pangan melalui berbagai cara.

Dari kondisi ini sebenarnya terjadi ‘main mata’ antara  produksi pertanian dan industri, yang telah memaksakan siklus ekonomis baru antara kedua belah pihak, yang melahirkan pertanian bersubsidi, ketergantungan petani kepada industri peralatan pupuk dan obat-obatan, dan karya siabolis terciptanya bibit hybrida: Pencaplokan bibit tanaman asli sehingga membuat petani tak berdaya.

Pada kesempatan itu, Nao mengungkapkan dampak negatif pertanian konvensional, antara lain ditandai dengan mengurangi tenaga kerja; monokultur dan kerusakan keaneka ragaman hayati; mematikan kehidupan lahan/tanah; mencemarkan sumber air dan lingkungan; menyebabkan erosi dan dampak buruk terkait; membahayakan kesehatan manusia; dan menjauhkan petani dari realitas alam dan ekologi kehidupan. Lahan pertanian konvensional  tanpa humus, kurus, cepat kering, mudah terkena erosi dan tanpa kehidupan.

Di bagian akhir sesinya Nao Remond mengemukakan,  Agroekologi sebagai jalan terang menuju kedaulatan pangan dan komunitas petani. Cukup gunakan pertanian organik saja, dengan potensi yang dimiliki di tanah kita, karena pertanian organik lebih toleran terhadap alam dan manusia sehingga menjamin hidupnya rantai siklus ekologi. Meghargai rantai produksi adalah jalan terang.

Melalui pertanian konvensional, manusia meracuni dirinya sendiri.  Pertanian konvensional atau pola budidaya yang kurang bersahabat dengan alam dan lingkungan tidak punya masa depan. Dalam sistem ini hewan saja enggan menyentuh makanan beracun, tetapi manusia dengan tau dan mau makan-makanan dari tanah olahan yang beracun.

‘Kalau begini kondisinya, apakah orang masih nyaman mengucapkan selamat makan? Atau sebaliknya karena yang tersaji di meja makan semuanya beracun, sebenarnya setiap hari kita sedang mengucapkan ‘selamat tinggal kehidupan. ‘ kata Nao Remond yang disambut seloroh peserta seminar.

Tergantung Pada Beras

Sementara di bagian lain, kepala Desa Nginamanu, Yohanes Donbosco Lemba menyampaikan kondisi seputar ketahanan pangan di desa yang dipimpinnya. Menurut Donbosco, Desa Nginamanu memiliki potensi untuk maju. “Dilihat dari potensi yang ada sebenarnya kita tidak miskin, hanya kita belum memanfaatkan semua potensi yang dimiliki dengan baik,” katanya.

Di bagian lain, tokoh masyarakat Nginamanu, Kornelis Nuwa menegaskan, terkait dengan ketahanan pangan di desa Nginamanu, sebenarnya di saat-saat tertentu harus beli bahan pangan seperti beras, ini menunjukkan ketahanan pangan lemah. Ini disebabkan ada pergeseran system pertanian yang selama ini hanya mengandalkan sawah. Kebun sudah semakin sempit, meski lahan cukup luas. Tidak heran jika tidak ada pangan lokal yang dihasilkan dari kebun/ladang.

Kornelis juga menyoroti penggunaan pupuk kimia selama ini sebanarnya mendominasi pertanian sawah. Mantan kepala desa ini, mengatakan hampir pasti Ladang tidak tersentuh pupuk kimia. Soalnya sekarang adalah bahwa minat petani mengelola kebun/ladang semakin surut. Sehingga dikatakan krisis pangan karena beras masih menjadi sumber kehidupan dan biaya dalam keluarga. Tidak heran jika beras habis, maka orang akan ijon sambil menunggu musim panen sawah berikutnya.
 
Latihan pengelolaan pangan lokal yang diikuti siswa SMPN Satap Kurubhoko mendapat pendampingan Ibu PKK dan Ibu-ibu Paroki Kurubhoko.
Karena itu kornelis menggugah para peserta seminar dan umat di Paroki Kurubhoko agar mulai sadar dengan pola berkebun yang baik dan berkelanjutan. Kalau hanya tunggu ada gerakan dulu, tidak akan bisa mencapai ketahanan pangan.

Terkait dengan kampanye organik bagi petani, Paroki Kurubhoko mengdepankan pastoral ekologi/organik dalam pemberdayaan ekonomi umat tahun 2018. Karena itu masukan dalam seminar HPS dan berbagai kegiatan akan dibawa pada Sidang Pleno Paroki yang dijadikan arah karya pastoral ke depan. Guna mendukung itu, kini Paroki yang dilayani imam-imam OFM itu mulai mendisain dan mengolah lahan seluas 9 hektare sebagai pusat studi pertanian terpadu berbasis organik. (ch)***

Insert foto: dari kiri: Yohanes Donbosco Lemba, Nao Remond, dan Pater Tobias Harman, OFM.

2 comments:

  1. Putuskan mata rantai kimia dan kembali ke organik.

    ReplyDelete
  2. Putuskan mata rantai kimia dan kembali ke organik.

    ReplyDelete