Responsive Ads Here

Tuesday 24 October 2017

OFM Indonesia: Sukseskan Go Organik Melalui ‘Tiga Batu Tungku’


KURUBHOKO – Ordo Fratrum Minorum (juga disebut Fransiskan, Ordo Fransiskan, atau Ordo Serafis; singkatan gelar O.F.M.) -  sebuah ordo keagamaan Katolik mendikan, yang kini melayani umat di Paroki Kurubhoko, terus melakukan terbosan mengembangkan pertanian organic sesuai misi Fransiskan.

Sembilan hetkar lahan sedang didisain menjadi pusat studi pertanian terpadu berbasis organic, mulai dari lahan sawah, hortikultura, peternakan seperti babi, kambing dan sapi, pakan ternak, tanaman pangan lainnya dan pembuatan pupuk organic.

Mengawali gerakan ‘Fransiskan’ melalui misi eco pastoral-nya, di Kurubhoko, 16 Oktober 2017 lalu meluncurkan gerakan kembali ke pangan lokal – ‘go pangan lokal – melalui kegiatan seminar bertema “Mengembalikan Pangan Lokal ke Kebun Kita” dan latihan pengolahan pangan lokal bagi 40 siswa SMPN Satap Kurubhoko melibatkan ibu-ibu PKK dan komunitas gereja setempat (KUB).

Debut awal para imam OFM di paroki yang baru diresmikan 11 September 2017 lalu itu, kata Pastor Paroki Kurubhoko, Pater Thobias Harman, OFM sebagai langkah awal untuk mendapatkan pemetaan tentang kondisi lokal yang meliputi tiga desa, yakni Nginamanu, Nginamanu Selatan, dan Nginamanu Barat. Dari kegiatan ini, kata Pater Tobi, akan menjadi masukan dalam menggodok arah karya pastoral paroki tahun 2018 yang akan dibahas  secar intens dalam Sidang Pastoral Paroki, awal November 2017 mendatang.

Arah karya pastoral Paroki Kurubhoko tahun 2018 didisain menekankan eco pastoral dengan melestarikan kembali tanaman pangan lokal ke kebun-kebun umat. Terkait dengan layanan eco pastoral itu, arah karya pastoral Kurubhoko, tambah Pater Tobi, diimplementasikan dalam pemberdayaan ekonomi umat yang dimulai dari pemanfaatan pekarangan rumah-rumah umat, terutama di kiri-kanan jalan provinsi Soa – Riung dan kawasan pemukiman lainnya.

Gerakan pertanian organic yang dimulai imam-imam OFM memang menjadi misi ordo ini – Fransiskan – untuk mengembalikan alam yang lestari, sehat, dan berkelimpahan pangan sesuai kearifan lokal.  Bagi Fransiskan di mana saja bertugas, eco pastoral selalu menjadi nafas layanan pastoral.

Bahkan, eco pastoral dinilai sangat sukses di Pagal, Manggarai yang mengedepankan pertanian organic. Di sana, tidak ada lagi pendropingan pupuk kimia dan pestisida. Petani dalam bertani secara mandiri dengan memproduksi pupuk organic sendiri. Gerakan ini dilakukan OFM sejak tahun 2000 lalu dan kini menjadi percontohan eco pastoral di daratan Flores.
 
Pater Tobias Harman, OFM di lahan pertanian organik di Kurubhoko
Ratusan petani di Pagal kini merasa beruntung dilatih oleh Fransiskan tentang metode membuat pupuk dari bahan organik, seperti daun, jerami, kotoran hewan, serbuk kayu gergaji, dan sekam. Pemerintah dan Gereja telah bermitra dalam kampanye pertanian organik karena para petani menghadapi dampak negatif akibat perubahan iklim – seperti kekeringan berkepanjangan dan kurangnya air, katanya.
Sukses Pagal memang menjadi bayang-bayang imam-imam OFM di tempat-tempat lain termasuk di Paroki Kurubhoko, Flores tengah di Kabupaten Ngada. Harapan itu tidak berlebihn, karena Pastor Paroki ini sebelumnya adalah direktur eksekutif dari Pusat Eco-pastoral di Pagal. Sebelum bertugas di Kurubhoko, Pater Tobi bahkan sempat mengikuti studi eco pastoral di new Zealand. Suatu ketika, Pater Tobi mengatakan kampanye Fransiskan telah memperoleh dukungan yang lebih luas dari para pemimpin pemerintah dan Gereja lokal, termasuk Keuskupan Agung Ende. Bersama masyarakat bersatu dalam mendukung sistem pertanian organik yang menguntungkan rakyat.
Guna mendukung gerakan ini,  Provinsial OFM Provinsial St. Mikhael Indonesia Pater Mikhael Peruhe, OFM datang dan menghadiri kegiatan HPS pertama yang digelar di Paroki ini. Pater Mikhael memberi apresiasi atas terobosan yang dilakukan imam-imamnya di Paroki Kurubhoko.

Sesuai dengan misi ‘Fransisikan’ kata Pater Mikhael, imam-imam OFM tidak bisa hanya tunggu di pastoran dan mendengar umat dari sana. Sebaliknya, harus turun dan bergerak bersama umat melakukan terobosan dan kerja-kerja praktis serta menolong umat keluar dari persoalan global – yakni kerusakan lahan pertanian – dengan kembali ke pertanian organic yang menjamin persahabatan dengan alam, dan memproduksi hasil pertanian yang sehat bagi kehidupan.

Ketikan menyampaikan arahan pada Seminar HPS, Pater Mikhael minta kerja sama semua pihak di wilayah ini untuk memajukan pertanian berbasis oragnik guna melepaskan diri dari masalah-masalah lingkungan yang lebih serius dan merusak kehidupan.

Pater Mikhael berkeyakinan gerakan ini akan mencapai hasil gemilang seperti halnya di Pagal, Manggaai. Karena itu, dalam menyukseskan gerakan ini perlu dukungan tiga komponen penting yang dituturkan Pater Mikhale dengan tiga batu tunggu, yakni peran Gereja, Pemerintah dan  lembaga/masyarakat Adat. “Kalau di paroki ini bisa sinergis antara tiga batu tungku ini maka gerakan pertanian organic akan tercapai. Kita tidak akan berubah kalau masih jalan sendiri-sendiri. Saya harap HPS menjadi langkah awal untuk berubah,” kata Pater Mikhael.

Dalam kegiatan yang juga dihadiri para siswa sekolah, Pater Mikhael mengajak generasi muda untuk mencintai tanah, mencintai pertanian. Ajakan itu setelah mendapat jawaban dari 40 siswa yang hadir, hanya dua orang yang menjawab menjadi petani ketika di Tanya Pater Mikhael. “Kalau semua generasi muda tidak mau jadi petani, lalu siapa yang akan menghidupi sekitar 260 juta jiwa penduduk Indonesia,” Tanya Pater Mikhael.
 
Sayur organik 
Selain itu, dia  juga mendorong sekolah-sekolah pertanian menjadi tempat untuk menyiapkan petani-petani modern yang kemudian siap memproduksi hasil pertanian yang sehat bagi kehidupan, dan menjamin alam tetap terpelihara dan tidak rusak. Selain itu sekolah yang ada di desa agar dapat mengarahkan kegiatan ekstrakurikuler berbasis pertanian, karena itu tidak bertentangan dengan kurikulum.

Kepada generasi muda, Pater Mikhael meyakinkan bahwa, pilihan menjadi itu mungkin dan menjamin kehidupan lebih baik. “Kuncinya, kalau kita hidup bersama alam, maka alam akan menghidupi kita. Sekarang kita hidup melawan alam, sehingga seakan-akan alam tidak bersahabat dengan dan enggan member hidup bagi kita karena terus dirusak. Itu sebabnya perjuangan kita sekarang juga bagaimana mengembalikan alam yang sudah dirusak itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, sekarang ini banyak anak muda tidak mencintai pertanian, sekalipun mereka itu lahir dan besar di desa. Di sekolahkan dengan biaya yang diperoleh dari hasil tanah. Lihat saja banyak orang sekolah tinggi tidak mau kembali ke desa. Bahkan para sarjana pertanian yang berasal dari desa tidak mau kembali ke desa menjadi petani, malah menjadi politisi dan lain-lain. Kalau semua urus politik, lantas siapa yang harus urus pangan untuk menhidupi sekitar 260 juta penduduk Indonesia ini?

Pater Mikhael minta orang tua adar membuat anak mereka mencintai tanah dan pertanian, karena kita hidup di desa. Mengajar anak untuk mengingkari eksistensi mereka adalah suatu pembohongan. Memang dulu banyak orang tua berpesan pada anak-anaknya agar sekolah pintar-pintar sehingga nanti tidak seperti bapak dan mamanya yang hanya jadi petani. Seolah-olah petani itu profesi yang rendahan. Padahal panggilan Tuhan kepada manusia yang pertama adalah petani. Dalam hidup dan pelayanan-Nya, Yesus tiada henti-hentinya bicara tentang pertanian, ternak dan nelayan. “Mengapa kita tidak  menekuni ini? Bukankah ini profesi yang terberkati?,” Tanya Pater Mikhael.

Ditambahkannya, tanah sungguh akan beri hidup kalau kita memperlakukan planet ini dengan baik. Yang diperlukan perubahan pola hidup yang selaras dengan alam. Anda harus perjuangkan. Dari hasil tanah yang dikelola dengan ramah akan menghasilkan produk yang sehat bagi kehidupan. “Kalau di kebun sehat, maka sudah tentu di meja maka yang disajikan juga sehat,” tambah Pater Mikhael.

Pergeseran Paradigma

Serangkaian HPS yang dirangkaikan dengan pelatihan pengolahan pangan lokal bagi siswa SMPN Satap Kurubhoko, Pasto paroki Kurubhoko Thobias Harman, OFM memberi apresiasi atas keterlibatan itu. “Senang dengan keterlibatan siswa  karena mereka sebenarnya adalah agen perubahan.

Menurut Pater Tobi, untuk menuju perubahan, orang tua sudah kehabisan mimpi. Sudah tidak punya mimpi lagi. Karena itu generasi muda perlu disentuh. Tujuan adalah mengurangi ketergantungan pada beras. Jadi gerakan ini yang melibatkan orang muda seperti ‘memotong’ generasi.
 
P. Tobias Harman, OFM ketika menyampaikan materi pada HPS 
Tentang kelangkaan pangan, menurut Pastor Tobi, telah terjadi perubahan paradigma kesejahteraan. Dulu ukurannya sejahtera karena memiliki pangan cukup di kabun/ladang, makan tiga kali sehari, rumah sehat, miliki ternak dengan fokus pada pangan karena dulu ladang penuh dengan bahan pangan.

Ada perubahan pemahaman, ukuran sejahtera bahwa rumah dengan lantai semen, punya mesin jahit, punya TV dan barang-barang elektronik lainnya. Jadi indikator kesejahteraan adalah miliki uang yang banyak. Akibatnya, kata Pater Tobi,  terjadi pergeseran pola tanam. Pangan dinilai prospek kecil dan hanya bisa menghasilkan uang kecil. Karena itu banyak orang beralih ke tanaman komoditi, semua ramai-ramai tanam pohon, karena kalkulasinya adalah uang.

Pergeseran pola tanam diikuti perubahan pola konsumsi dari aneka pangan dengan fokus hanya kepada beras. Sehingga kalau tanpa beras orang akan pontang-panting mencari uang untuk membeli beras, bahkan dengan resiko harus ijon sebelum musim panen datang. Ketiadaan beras di rumah jadi indikator krisis atau ‘kelaparan’.

Pater Tobi juga merasa ironis,  meski wilayah  ini penghasil beras, tetapi raskin tetap turun ke desa. Petani tetap miskin. Padahal banyak jenis pangan yang bisa menggantikan beras. Karena yang dibutuhkan tubuh adalah energy (karbohidrat). Maka tidak heran banyak orang sakit gula karena mengonsumsi beras terlalu tinggi.

Pertanyaannya, beras yang kita masak setiap hari ada protein atau tidak. Itu juga yang menyebabkan banyak pasangan muda kesulitan mendapat keturunan. Karena beras yang kita makan sudah beracun akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang tinggi di sawah.

Dengan kegiatan HPS, harap Pater Tobi,  genersi muda (siswa) terbuka wawasan. Dan ini akan berkelanjutan, sehingga ada keprihatinan berkelanjutan. Dan suatu saat nanti keputusan mereka (kaum muda) adalah pro life. “Dari sekarang ubah sarapan pagi anda tanpa beras. Saya juga dorong supaya sekolah di desa perlu ada kegiatan ekstrakurikules berbasis pertanian organic. Jadi sangat bagus kalau kegiatan siswa juga menyentuh aspek kehidupan masyarakat lokal/desa di mana sekolah itu berada,” jelas Pater Tobi. (Emanuel djomba)***

Insert foto utama:   Provinsial OFM Provinsial St. Mikhael Indonesia Pater Mikhael Peruhe, OFM dihadapan peserta seminar HPS 16 Oktober 2017 yang dihadiri para siswa.

No comments:

Post a Comment