Responsive Ads Here

Wednesday 25 October 2017


MATALOKO –  Seminari Mataloko mendapat bantuan alsintan berupa traktor roda empat. Bantuan tersebut disampaikan Kadis Pertanian Provinsi NTT, Yohanes Tay Ruba,  ketika gelar panen perdana jagung Lamuru di kebun penangkaran Seminari Mataloko, Rabu (25/10/2017)

Bantuan Alsintan ini sebagai bentuk apresiasi pemerintah atas keseriusan lembaga Seminari Mataloko dalam program penangkaran benih jagung, guna mendukung program ketahanan pangan (jagung) di daerah ini.

Menanggapi hal itu, Praeces Seminari Mataloko Rm. Idrus menyampaikan terima kasih kepada pemerintah melalui program penangkaran benih. Program penangkaran dipermudah dengan adanya traktor sehingga mampu membuka lahan lebih luas dan mencapai hasil lebih banyak.

Penyerahan bantuan traktor roda empat oleh Kadistan Provinsi NTT, Yohanes Tay Ruba bersamaan dengan gelar panen perdana jagung Lamuru di atas lahan seluas sekitar lima hektare, milik Seminari Mataloko.

Di atas lahan seluas lima hektare, kata Rm. Idrus, jagung yang dipanen tahun ini diperkirakan mencapai 7 – 8 ton. Jagung penangkaran ini  guna memenuhi kebutuhan benih jagung di Kabupaten Ngada. Hanya soal harga, Rm. Idrus mengatakan belum tahu.

Dikatakan Rm. Idrus, tahun depan, pihaknya menargetkan akan memanfaatkan lahan sekitar 10 hektare. Perluasan lahan ini dimungkinkan dan akan lebih mudah dikerjakan menggunakan traktor. Sementara sebelumnya lahan penangkaran dikerjakan dengan tenaga manusia. Kadang juga gunakan traktor, tetapi pinjam dari kebun misi di Malanuza – hanya sewaktu-waktu saja kalau di sana tidak ada kegiatan.

Bahkan selain untuk program penangkaran jagung, kata Rm. Idrus pihaknya juga akan membuka lahan yang bisa ditanami komoditi hortikultura seperti sayuran dalam areal yang lebih luas, sehingga dapat mencukupi kebutuhan anak-anak seminari yang kini berjumlah 587 orang – SMP dan SMA.

Pada kesempatan itu, Kadistan Kabupaten Ngada, Paskalis Wale Bai juga menawarkan penangkaran benih kedele dengan memanfaatkan lahan yang ada. Tawaran itu disanggupi oleh Rm. Idrus.

Rm. Idrus menyambut dengan senang hati. Dari potensi yang ada, seminari dapat memanfaatkan sebagai tempat penangkaran benih pangan lain selain jagung. “Bagi kami ini baik juga. Jadi seminari bukan hanya sebagai tempat merawat benih panggilan,  tetapi juga benih pangan yang dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat umum,” beber Rm. Idrus. (ch)***

MATALOKO – Kepala Dinas Pertanian NTT, Yohanes Tay Ruba, melakukan panen perdana jagung di kebun Seminari Mataloko, Rabu (25/10/2017). Jagung jenis Lamuru itu merupakan program penangkaran benih yang dibudidaya di atas lahan seluas lima hektare.

Di hamparan lahan  sebelah timur Kemah Tabor itu, Kadistan Anis Tay didampingi Praeses Seminari Mataloko Rm. Idrus memanen jenis Jagung Lamuru dengan resmi. Panen perdana itu dilakukan bersama Dandim 1625 Ngada Letnan Kolonel Czi Arman Hidayah dan Kadistan Kabupaten Ngada Paskalis Wale Bai, staf Distan Kabupaten Ngada.

Saat panen jagung itu, Anis Tay Ruba mengatakan, jagung yang dipanen itu akan digunakan untuk pemenuhan benih bagi petani di daerah ini. “Kita berharap benih jagung ini dapat dimanfaatkan oleh petani di daerah ini dalam mendukung ketahanan pangan, supaya kita tidak kekurangan,” kata Anis Tay.
 
Anis Tay Ruba saat panen jagung di Seminari Mataloko
Ditegaskan, “guna memperkuat ketahanan pangan, kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Supaya kita memiliki kedaulatan pangan maka kita tidak bisa urus sendiri-sendiri. Kita mesti bekerja bersama-sama membangun kekuatan pangan.”

Anis Tay Ruba memanfaatkan waktu untuk panen perdana dalam rangkaian tugasnya dari Ende, ke Manggarai - Reo, kembali lagi ke Ngada membuka Bimtek Kedele di Malanuza menyambut Upsus Kedele, sebelum bertolak ke Kupang melalui Bandara Turelole Soa. (ch)***

Terminus dan Fakta Kemiskinan.
 Kemiskinan berasal dari bahasa latin yakni paupertas dari ajektif pauper yang artinya sama dengan kata sifat poor dalam bahasa inggris. Kemiskinan sendiri memiliki arti-arti berikut; 1) kekurangan kepemilikan akan barang, 2) berkualitas atau bernilai rendah. Lebih ekstrem, realitas kemiskinan berarti suatu kondisi alami di mana manusia mengalami krisis pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang hebat dan krisis yang demikian memasukan orang ke dalam kondisi subhuman. Kondisi subhuman yang dimaksudkan ialah bahwa syarat-syarat minimum yang menjamin keberadaan manusia seperti makanan, pakian, kesehatan, keamanan, pendidikan menjadi langkah.

Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa kemiskinan adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Kemiskinan selalu menjadi bagian hidup manusia yang sepertinya menjadi penyakit yang sudah akut dan tak bisa disembuhkan dari dulu sampai kini kemiskinan selalu ada dan bahkan menjadi “momok” bagi hidup manusia. Hal ini diperkuat oleh sejarah masa silam bahwa masalah kemiskinan sudah berurat akar sejak Indonesia di bawah kolonialisme. Oleh karena itu, penting untuk disadari bahwa kemiskinan adalah masalah bersama. Dikatakan masalah bersama karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain. Kemiskinan bukan barang baru atau sebuah pulau asing yang terpencil. Kemiskinan bukan pula penderita penyakit menular yang patut diisolasi. Kemiskinan adalah masalah bersama dan pantas mendapat perhatian bersama dan pasti bisa di atasi secara kolektif.

Manusia dan Koperasi

Secara substansial, manusia berada dalam dua sisi namun satu entitas. Di satu sisi, manusia adalah makhluk yang otonom yang berpijak dalam kediriannya sebagai seorang yang bisa berpikir, berkreasi, berinovasi, dan  menentukan segala sesuatu yang berguna bagi kehidupannya. Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang terbuka terhadap eksistensi sesamannya. Oleh karena itu, sosialitas merupakan sisi lain yang tidak bisa dipisahkan dari personalitas atau kedirian. Kedirian seseorang mesti dikorelasikan atau dihubungan dengan kedirian orang lain. Dalam konteks kehidupan sosial tersebut, manusia akan berusaha untuk saling mendukung dan memberdayakan satu sama lain. Ada berbagai bentuk pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat seperti saling tolong menolong satu dengan yang lain, bekerja sama, bergotong royong dan berkoperasi.

Koperasi merupakan wadah yang sangat aktual dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat, terutama kaum kecil. Koperasi berkenaan dengan manusia sebagai individu dan dengan kehidupannya dalam masyarakat. Manusia tidak dapat melakukan kerja sama sebagai satu unit, dia memerlukan orang lain dalam suatu kerangka kerja sosial (social framework).

Koperasi pada hakikatnya membantu dan memberdayakan. Membantu masyarakat kecil dengan meminjamkan modal sekaligus memberi ruang kepada setiap anggotanya untuk menggembangkan modal tersebut sambil memperhatikan  kebijakan bunga peminjaman. Dengan demikian setiap orang berusaha untuk memberdayakan dirinya sendiri. Kendatipun demikian,  keduanya (pengurus koperasi dan anggota koperasi) memiliki relasi yang seimbang dan sangat intens karena berada pada posisi yang sejajar.

Sejarah lahirnya koperasi di Inggris, tidak terlepas oleh gagasan yang digagas oleh Robert  Owen (1771-1858), Ia menerapkannya di usaha pemintalan kapas. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1844 di Rochdale, Inggris. Koperasi ini timbul pada masa perkembangan kapitalisme sebagai akibat revolusi industri. Pada awalnya, koperasi Rochdale berdiri dengan usaha penyediaan barang-barang konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi seiring dengan terjadinya pemupukan modal koperasi, maka koperasi mulai merintis untuk memproduksi barang sendiri yang akan dijual. Kegiatan ini menimbulkan kesempatan kerja bagi anggota yang belum bekerja dan menambah pendapatan bagi mereka yang suda bekerja.

Pada tahun 1851, koperasi tersebut akhirnya dapat mendirikan sebuah pabrik dan mendirikan perumahan bagi anggota-anggotanya yang belum mempunyai rumah. Oleh karena itu, sejak tahun 1844 koperasi modern dicetuskan dan berkembang sampai dengan saat ini. Lebih lanjut lagi, pada tahun 1848 koperasi berkembang di Jerman yang dipelopori oleh Ferdinan Lasallen dan W. Raiffesen. Mereka menganjurkan untuk para petani supaya menyatukan diri untuk membentuk organisasi simpan pinjam.

Setelah melalui beberapa rintangan, akhirnnya mereka dapat mendirikan koperasi dengan pedoman kerjannya adalah (1) Anggota Koperasi wajib menyimpan uang. (2) Uang simpanan boleh dikeluarkan sebagai pinjaman dengan membayar bunga. (3) Usaha koperasi mula-mula dibatasi pada Desa setempat agar tercapai kerjasama yang erat. (4) Pengurusan koperasi diselenggarakan oleh anggota yang dipilih tanpa mendapatkan upah. (5) Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membantu kesejahteraan masyarakat.

Dan pada tahun 1896 di London terbentuklah ICA (International Cooperative Alliance) dan pada ini pula koperasi dianggap sebagai suatu gerakan internasional. Pencapaian dan orientasi dasar dari lahirnnya koperasi terletak pada semangat gotong royong, sukarela dan pemberdayaan masyarakat kecil. Selanjutnya, pada tahun 1950-an Koperasi Kredit atau koperasi simpan pinjam sudah dipraktekan di Indonesia. Beberapa usaha simpan pinjam mulai didirikan dengan prinsip Raiffeisen. Oleh karena tekanan inflasinya yang hebat maka usaha simpan pinjam beralih Orde Baru dimana kondisi moneter ke arah stabil, gerakan ini mulai dibangun kembali.

Sebagai wujud nyata beberapa penggerak ekonomi masyarakat menghubungi WOCCU atau Dewan Koperasi Kredit Dunia untuk mengembangkan koperasi Kredit. Selanjutnya Mr. A. A. Bailey diutus oleh WOCCU ke Indonesia untuk memenuhi undangan para penggerak koperasi kerdit Indonesia.Pada tahun 1970 dibentuk CUCO (Credit Union Counseling Office) yang dipimpin oleh P. Alberth Karim Arbie, SJ. Setelah melewati masa inkubasi, maka pada tahun 1976 Direktur Jenderal Koperasi Ir. Ibnnoe Soedjono merestui CUCO diterjemahkan menjadi Biro Konsultasi Koperasi Kredit (BK3). Selanjutnya pada tahun 1981 dalam konferensi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) yang kini bernama Badan Koordinasi Koperasi Kredit inkopdit). Gerakan ini juga sekarang sementara dikembangkan di Flores pada tahun 1974 yang dipelopori oleh P. B.J. Baack, SVD.

Kesederhanaan vs Kemiskinan

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan gambaran rupah Allah yang secitra dengan Allah maka, manusiapun pasti mampu keluar dari belenggu kemiskinan. Ada beberapa hal yang kiranya dapat membantu kita keluar dari kemiskinan; 1) Berusaha untuk membebaskan diri dari mental instant, mental harap, mental ketergantungan yang muluk dari orang lain dan juga mental  kepercayaan “Nanti Tuhan Tolong” (NTT).

Jika kita belum mampu keluar dari mental-mental ini maka, kita tetap akan dipenjarahkan oleh diri kita sendiri dan tidak bisa menjadi pribadi yang bebas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang ada dalam diri kita. 2) Menguburkan sikap dan mental boros yang tidak punya arah. Artinya berusahalah Hidup “sederhana dan miskin”. Hidup sederhana dan miskin bukan berarti melarat dan tak berdaya, tetapi buatlah hidup yang didasari oleh kebutuhan bukan keinginan. 3) Tanamkanlah budaya menabung sejak dini, sejak anak masih dalam kandungan ibu. Dengan budaya ini berarti kita sedang membebaskan diri dan juga anak-anak kita sejak dini dari belenggu kemiskinan.

Dengan menjamurnya Koperasi Kredit yang berbadan hukum saat ini telah banyak memberikan bukti yang tak terbantahkan lagi bahwa koperasi telah dan mampu membebaskan diri dan hidup manusia dari belenggu kemiskinan. Kita harus menyadari bahwa kemerdekaan diri akan memberi kebebasan yang bakal memberi jaminan bagi hidup kita. Kebebasan diri bukanlah lahir dari belas kasihan dan yang diminta dari orang lain, melainkan diperjuangkan dengan pengorbanan yang tulus, sakit namun akan indah pada waktunya. Untuk bisa memerdekakan diri dan juga membebaskan diri dari kemiskinan maka, hanya salah satu jalan dari sekian jalan yang kita tempuh yakni mari tanamlah budaya menabung sejak dini dan bergabunglah bersama KOPDIT yang berbadan hukum.

KOPDIT bagaikan lingkaran hidup yang mampu memahami hidup dan kehidupan yang mencakup segala tahap kehidupan, maka kehidupan dalam segala dinamika melengkapkan diri untuk akhirnya menjadi suatu kesatuan majemuk yang utuh. Sejarah kelahiran koperasi dipenuhi liku-liku yang berat, namun liku-liku berat itu telah memberi kelegahan buat kita saat ini. Kelahiran koperasi terlahir dari kaum kecil, miskin, dan para petani.

Dan dari kekurangan itulah lahirlah pemikiran yang bernas yang dilandasi oleh dasar semangat kolektif, solidaritas, gotong-royong dan juga semboyan; kau susah aku bantu dan aku susah kau bantu. Dengan bergabung bersama koperasi maka, identitas manusia sebagai socius bagi yang lain dapat diakui dalam kehidupan sosial dan juga sekaligus dapat mengejewantahkan ke-sociusankita bagi sesama yang lain.

Di akhir tulisan ini saya mengajak kita semua untuk memahami serta menghayati dalam hidup kita, bersama perkataan Dr. Albert Schweitzer;Orang tidak menjadi tua karena bertambahnya usia, tapi karena ia menyerah dan mengucapkan selamat tinggal kepada cita-citanya. Ia tidak menjadi tua karena kisut kulitnya, tapi karena meringkus jiwanya. Anda akan tua setua keraguanmu, anda akan muda semuda harapanmu dan akan tua setua keputusasaanmu

Tidak pernah ada kata terlambat untuk menabung bagi orang yang mempunyai harapan dan cita-cita yang besar. Kerana menabung berarti memberi kehidupan yang layak bagi diri, orang lain dan generasi yang akan datang. Menabung tidak pernah dibatasi oleh umur. Oleh karena itu, Marilah dengan semangat kolektif, kita blokir kemiskinan dengan bergabung untuk menabung bersama Koperasi sejak dini.***

(Bonefasius Zanda/Pengajar SMA Katolik Regina Pacis Bajawa)

Tuesday 24 October 2017


KURUBHOKO – Ordo Fratrum Minorum (juga disebut Fransiskan, Ordo Fransiskan, atau Ordo Serafis; singkatan gelar O.F.M.) -  sebuah ordo keagamaan Katolik mendikan, yang kini melayani umat di Paroki Kurubhoko, terus melakukan terbosan mengembangkan pertanian organic sesuai misi Fransiskan.

Sembilan hetkar lahan sedang didisain menjadi pusat studi pertanian terpadu berbasis organic, mulai dari lahan sawah, hortikultura, peternakan seperti babi, kambing dan sapi, pakan ternak, tanaman pangan lainnya dan pembuatan pupuk organic.

Mengawali gerakan ‘Fransiskan’ melalui misi eco pastoral-nya, di Kurubhoko, 16 Oktober 2017 lalu meluncurkan gerakan kembali ke pangan lokal – ‘go pangan lokal – melalui kegiatan seminar bertema “Mengembalikan Pangan Lokal ke Kebun Kita” dan latihan pengolahan pangan lokal bagi 40 siswa SMPN Satap Kurubhoko melibatkan ibu-ibu PKK dan komunitas gereja setempat (KUB).

Debut awal para imam OFM di paroki yang baru diresmikan 11 September 2017 lalu itu, kata Pastor Paroki Kurubhoko, Pater Thobias Harman, OFM sebagai langkah awal untuk mendapatkan pemetaan tentang kondisi lokal yang meliputi tiga desa, yakni Nginamanu, Nginamanu Selatan, dan Nginamanu Barat. Dari kegiatan ini, kata Pater Tobi, akan menjadi masukan dalam menggodok arah karya pastoral paroki tahun 2018 yang akan dibahas  secar intens dalam Sidang Pastoral Paroki, awal November 2017 mendatang.

Arah karya pastoral Paroki Kurubhoko tahun 2018 didisain menekankan eco pastoral dengan melestarikan kembali tanaman pangan lokal ke kebun-kebun umat. Terkait dengan layanan eco pastoral itu, arah karya pastoral Kurubhoko, tambah Pater Tobi, diimplementasikan dalam pemberdayaan ekonomi umat yang dimulai dari pemanfaatan pekarangan rumah-rumah umat, terutama di kiri-kanan jalan provinsi Soa – Riung dan kawasan pemukiman lainnya.

Gerakan pertanian organic yang dimulai imam-imam OFM memang menjadi misi ordo ini – Fransiskan – untuk mengembalikan alam yang lestari, sehat, dan berkelimpahan pangan sesuai kearifan lokal.  Bagi Fransiskan di mana saja bertugas, eco pastoral selalu menjadi nafas layanan pastoral.

Bahkan, eco pastoral dinilai sangat sukses di Pagal, Manggarai yang mengedepankan pertanian organic. Di sana, tidak ada lagi pendropingan pupuk kimia dan pestisida. Petani dalam bertani secara mandiri dengan memproduksi pupuk organic sendiri. Gerakan ini dilakukan OFM sejak tahun 2000 lalu dan kini menjadi percontohan eco pastoral di daratan Flores.
 
Pater Tobias Harman, OFM di lahan pertanian organik di Kurubhoko
Ratusan petani di Pagal kini merasa beruntung dilatih oleh Fransiskan tentang metode membuat pupuk dari bahan organik, seperti daun, jerami, kotoran hewan, serbuk kayu gergaji, dan sekam. Pemerintah dan Gereja telah bermitra dalam kampanye pertanian organik karena para petani menghadapi dampak negatif akibat perubahan iklim – seperti kekeringan berkepanjangan dan kurangnya air, katanya.
Sukses Pagal memang menjadi bayang-bayang imam-imam OFM di tempat-tempat lain termasuk di Paroki Kurubhoko, Flores tengah di Kabupaten Ngada. Harapan itu tidak berlebihn, karena Pastor Paroki ini sebelumnya adalah direktur eksekutif dari Pusat Eco-pastoral di Pagal. Sebelum bertugas di Kurubhoko, Pater Tobi bahkan sempat mengikuti studi eco pastoral di new Zealand. Suatu ketika, Pater Tobi mengatakan kampanye Fransiskan telah memperoleh dukungan yang lebih luas dari para pemimpin pemerintah dan Gereja lokal, termasuk Keuskupan Agung Ende. Bersama masyarakat bersatu dalam mendukung sistem pertanian organik yang menguntungkan rakyat.
Guna mendukung gerakan ini,  Provinsial OFM Provinsial St. Mikhael Indonesia Pater Mikhael Peruhe, OFM datang dan menghadiri kegiatan HPS pertama yang digelar di Paroki ini. Pater Mikhael memberi apresiasi atas terobosan yang dilakukan imam-imamnya di Paroki Kurubhoko.

Sesuai dengan misi ‘Fransisikan’ kata Pater Mikhael, imam-imam OFM tidak bisa hanya tunggu di pastoran dan mendengar umat dari sana. Sebaliknya, harus turun dan bergerak bersama umat melakukan terobosan dan kerja-kerja praktis serta menolong umat keluar dari persoalan global – yakni kerusakan lahan pertanian – dengan kembali ke pertanian organic yang menjamin persahabatan dengan alam, dan memproduksi hasil pertanian yang sehat bagi kehidupan.

Ketikan menyampaikan arahan pada Seminar HPS, Pater Mikhael minta kerja sama semua pihak di wilayah ini untuk memajukan pertanian berbasis oragnik guna melepaskan diri dari masalah-masalah lingkungan yang lebih serius dan merusak kehidupan.

Pater Mikhael berkeyakinan gerakan ini akan mencapai hasil gemilang seperti halnya di Pagal, Manggaai. Karena itu, dalam menyukseskan gerakan ini perlu dukungan tiga komponen penting yang dituturkan Pater Mikhale dengan tiga batu tunggu, yakni peran Gereja, Pemerintah dan  lembaga/masyarakat Adat. “Kalau di paroki ini bisa sinergis antara tiga batu tungku ini maka gerakan pertanian organic akan tercapai. Kita tidak akan berubah kalau masih jalan sendiri-sendiri. Saya harap HPS menjadi langkah awal untuk berubah,” kata Pater Mikhael.

Dalam kegiatan yang juga dihadiri para siswa sekolah, Pater Mikhael mengajak generasi muda untuk mencintai tanah, mencintai pertanian. Ajakan itu setelah mendapat jawaban dari 40 siswa yang hadir, hanya dua orang yang menjawab menjadi petani ketika di Tanya Pater Mikhael. “Kalau semua generasi muda tidak mau jadi petani, lalu siapa yang akan menghidupi sekitar 260 juta jiwa penduduk Indonesia,” Tanya Pater Mikhael.
 
Sayur organik 
Selain itu, dia  juga mendorong sekolah-sekolah pertanian menjadi tempat untuk menyiapkan petani-petani modern yang kemudian siap memproduksi hasil pertanian yang sehat bagi kehidupan, dan menjamin alam tetap terpelihara dan tidak rusak. Selain itu sekolah yang ada di desa agar dapat mengarahkan kegiatan ekstrakurikuler berbasis pertanian, karena itu tidak bertentangan dengan kurikulum.

Kepada generasi muda, Pater Mikhael meyakinkan bahwa, pilihan menjadi itu mungkin dan menjamin kehidupan lebih baik. “Kuncinya, kalau kita hidup bersama alam, maka alam akan menghidupi kita. Sekarang kita hidup melawan alam, sehingga seakan-akan alam tidak bersahabat dengan dan enggan member hidup bagi kita karena terus dirusak. Itu sebabnya perjuangan kita sekarang juga bagaimana mengembalikan alam yang sudah dirusak itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, sekarang ini banyak anak muda tidak mencintai pertanian, sekalipun mereka itu lahir dan besar di desa. Di sekolahkan dengan biaya yang diperoleh dari hasil tanah. Lihat saja banyak orang sekolah tinggi tidak mau kembali ke desa. Bahkan para sarjana pertanian yang berasal dari desa tidak mau kembali ke desa menjadi petani, malah menjadi politisi dan lain-lain. Kalau semua urus politik, lantas siapa yang harus urus pangan untuk menhidupi sekitar 260 juta penduduk Indonesia ini?

Pater Mikhael minta orang tua adar membuat anak mereka mencintai tanah dan pertanian, karena kita hidup di desa. Mengajar anak untuk mengingkari eksistensi mereka adalah suatu pembohongan. Memang dulu banyak orang tua berpesan pada anak-anaknya agar sekolah pintar-pintar sehingga nanti tidak seperti bapak dan mamanya yang hanya jadi petani. Seolah-olah petani itu profesi yang rendahan. Padahal panggilan Tuhan kepada manusia yang pertama adalah petani. Dalam hidup dan pelayanan-Nya, Yesus tiada henti-hentinya bicara tentang pertanian, ternak dan nelayan. “Mengapa kita tidak  menekuni ini? Bukankah ini profesi yang terberkati?,” Tanya Pater Mikhael.

Ditambahkannya, tanah sungguh akan beri hidup kalau kita memperlakukan planet ini dengan baik. Yang diperlukan perubahan pola hidup yang selaras dengan alam. Anda harus perjuangkan. Dari hasil tanah yang dikelola dengan ramah akan menghasilkan produk yang sehat bagi kehidupan. “Kalau di kebun sehat, maka sudah tentu di meja maka yang disajikan juga sehat,” tambah Pater Mikhael.

Pergeseran Paradigma

Serangkaian HPS yang dirangkaikan dengan pelatihan pengolahan pangan lokal bagi siswa SMPN Satap Kurubhoko, Pasto paroki Kurubhoko Thobias Harman, OFM memberi apresiasi atas keterlibatan itu. “Senang dengan keterlibatan siswa  karena mereka sebenarnya adalah agen perubahan.

Menurut Pater Tobi, untuk menuju perubahan, orang tua sudah kehabisan mimpi. Sudah tidak punya mimpi lagi. Karena itu generasi muda perlu disentuh. Tujuan adalah mengurangi ketergantungan pada beras. Jadi gerakan ini yang melibatkan orang muda seperti ‘memotong’ generasi.
 
P. Tobias Harman, OFM ketika menyampaikan materi pada HPS 
Tentang kelangkaan pangan, menurut Pastor Tobi, telah terjadi perubahan paradigma kesejahteraan. Dulu ukurannya sejahtera karena memiliki pangan cukup di kabun/ladang, makan tiga kali sehari, rumah sehat, miliki ternak dengan fokus pada pangan karena dulu ladang penuh dengan bahan pangan.

Ada perubahan pemahaman, ukuran sejahtera bahwa rumah dengan lantai semen, punya mesin jahit, punya TV dan barang-barang elektronik lainnya. Jadi indikator kesejahteraan adalah miliki uang yang banyak. Akibatnya, kata Pater Tobi,  terjadi pergeseran pola tanam. Pangan dinilai prospek kecil dan hanya bisa menghasilkan uang kecil. Karena itu banyak orang beralih ke tanaman komoditi, semua ramai-ramai tanam pohon, karena kalkulasinya adalah uang.

Pergeseran pola tanam diikuti perubahan pola konsumsi dari aneka pangan dengan fokus hanya kepada beras. Sehingga kalau tanpa beras orang akan pontang-panting mencari uang untuk membeli beras, bahkan dengan resiko harus ijon sebelum musim panen datang. Ketiadaan beras di rumah jadi indikator krisis atau ‘kelaparan’.

Pater Tobi juga merasa ironis,  meski wilayah  ini penghasil beras, tetapi raskin tetap turun ke desa. Petani tetap miskin. Padahal banyak jenis pangan yang bisa menggantikan beras. Karena yang dibutuhkan tubuh adalah energy (karbohidrat). Maka tidak heran banyak orang sakit gula karena mengonsumsi beras terlalu tinggi.

Pertanyaannya, beras yang kita masak setiap hari ada protein atau tidak. Itu juga yang menyebabkan banyak pasangan muda kesulitan mendapat keturunan. Karena beras yang kita makan sudah beracun akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang tinggi di sawah.

Dengan kegiatan HPS, harap Pater Tobi,  genersi muda (siswa) terbuka wawasan. Dan ini akan berkelanjutan, sehingga ada keprihatinan berkelanjutan. Dan suatu saat nanti keputusan mereka (kaum muda) adalah pro life. “Dari sekarang ubah sarapan pagi anda tanpa beras. Saya juga dorong supaya sekolah di desa perlu ada kegiatan ekstrakurikules berbasis pertanian organic. Jadi sangat bagus kalau kegiatan siswa juga menyentuh aspek kehidupan masyarakat lokal/desa di mana sekolah itu berada,” jelas Pater Tobi. (Emanuel djomba)***

Insert foto utama:   Provinsial OFM Provinsial St. Mikhael Indonesia Pater Mikhael Peruhe, OFM dihadapan peserta seminar HPS 16 Oktober 2017 yang dihadiri para siswa.


KURUBHOKO –  Menumbuhkan kecintaan generasi muda pada pangan lokal, sekitar 40 siswa Satap Kurubhoko, Kecamatan Wolomeze  mengikuti latihan pengolahan pangan lokal. Kegiatan ini meriahkan  Hari Pangan Sedunia (HPS) yang digelar oleh Gereja Katolik Paroki Kurubhoko bekerja sama dengan Yayasan Puge Figo dan Pemerintah  Desa Nginamanu, 16 Oktober 2017 lalu.

Rangkaian latihan pengolahan pangan lokal yang melibatkan ibu-ibu PKK desa dan paroki itu,  dikemas dalam balutan literasi.  Literasi bukan sekadar mendorong gerakan teriak ala demonstran “ayo baca”. Bukan itu saja.  Apa yang dibaca? Itu penting. Lebih penting lagi, mendampingi pembacaan. Literasi adalah serangkaian “proses produksi” penalaran berbasis teks dan pada tahap lebih jauh kemampuan memproduksi teks; semuanya bertujuan mengubah alam pikir, lalu mengubah tindakan. Literasi adalah dunia pemahaman yang arahnya untuk kesadaran. Setelah memahami, harus mampu menjadi alat untuk memahami dunia lalu menggerakkan perubahan.

Dalam pelatihan pengolahan pangan lokal  ini, proses literasi dimulai dari mencari sumber dari internet/buku tentang manfaat dan meracik pangan lokal. Kemudian memahami teks yang dibaca, menemukan kiat-kiat meracik pangan lokal, yang dilanjutkan dengan meracik dan memasak. Salah satu targetnya adalah membawa generasi  mencintai dan menjadikan pangan lokal sebagai penganan sehari-hari, bahkan suatu saat membawa generasi bercita-cita menjadi petani.

Kegiatan pelatihan pengolahan pangan lokal dalam rangka HPS ini adalah terobosan Paroki Kurubhoko agar menumbuhkan rasa cinta generasi muda (siswa) pada pangan lokal. Dilihat dari kandungan dan manfaat yang  dimiliki berbagai jenis pangan, sebenarnya terdapat kandungan gizi tinggi yang tidak kalah dengan beras. Kegiatan ini juga cara mengintegrasikan kegiatan ekonomi kreatif dengan budaya literasi.

Proses latihan pengolahan pangan lokal dalam rantai literasi itu dikemukakan Ketua Tim Penggerak PKK Desa Nginamanu, Maksima Lemba Mika yang langsung mendampingi siswa. Dirinya membantu mencari sumber-sumber bacaan tentang pengolahan pangan lokal yang diperoleh dari internet maupun buku. Memahami teks dari sumber yang sudah diperoleh bersama siswa, lalu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, meracik dan memasak. Di bagian lain, siswa secara berkelompok mempresentase menu olahan yang siap disantap seperti apa kandungan dan manfaat pangan lokal.
 
Suasana seminar HPS yang diikuti oleh para siswa
Menurut Maksima, Sekitar 40 anak yang terbagi menjadi empat kelompok dilatih mengolah pangan berbahan singkong, ubi talas, pisang, ondo (badung), jenis pangan lokal ke’o, kelapa dan lain-lain. Masing-masing kelompok mengolah dua jenis pangan menjadi penganan berbahan pangan lokal.

Melalui kegiatan ini siswa belajar memahami cara mengolah pangan lokal, mendapatkan informasi tentang manfaat dan kandungan gisi, kemudian mereka mulai mempraktikan mengolah berbagai jenis pangan menjadi penganan. “Jadi kegiatan mereka adalah Mencari (dari berbagai referensi), Mamahami (kandungan dan manfaat) dan Meracik (berbagai jenis menu), atau yang mereka sebut tiga M. Melalui kegaiatan ini siswa sedang berliterasi dalam mengolah apangan lokal,” beber Ny. Maksima Lemba Mika.

Dikatakan Maksima,  pengalaman selama ini banyak anak-anak di rumah  enggan mengonsumsi pangan lokal yang disajikan dengan cara merebus saja, misalnya. Namun ketika meracik dengan cara berbeda justru dapat membangkitkan selera makan pangan lokal pada anak-anak.

“Hanya, selama ini banyak ibu rumah tangga tidak melakukan diversifikasi pangan sebagai menu makan bagi keluarga. Lebih banyak urusan lain. Kita berharap melalui kegiatan ini akan tumbuh kesadaran genesai muda untuk menyadari pentingnya pangan lokal,” katanya.

Salah seorang siswi SMPN Satap Kurubhoko, Natalia,  mengaku senang bisa terlibat dalam dalam rangkaian HPS yang dimulai dengan seminar hingga latihan pengolahan pangan lokal. Dia mengatakan selama ini di rumahnya ada pangan selain beras, seperti ubi-ubian dan pisang. Namun, semua dianggap hanya sebagai makanan sampingan atau senang-senang. Namun setelah belajar  ternyata  kandungan yang ada pada pangan lokal mengandung gizi tinggi dan bermanfaat untuk tubuh, tidak kalah dengan beras yang selama ini menjadi makanan utama.
 
Siswa SMPN Satap Kurubhoko latihan mengolah pangan lokal
Untuk ikut pelatihan pengolahan pangan lokal, Natalia bersama teman-temannya mengaku mengambil berbagai jenis pangan yang akan diolah dari kebun. Semua semangat belajar mengolah pangan lokal. Bahkan seperti  jenis ubi ondo (Jali) yang biasanya kalau makan memabukan malah setelah diolah menjadi penganan yang enak dan layak dikonsumsi. Dalam jali mengandung kalsium, B6 dan serat. Ternyata pangan lokal memiliki zat gizi tinggi. Kalau sarat kandungan gizinya, mestinya pangan lokal tidak hanya dijadikan sebagai makanan iseng-iseng  saja, tetapi menjadi makanan utama.

Sementara, Wakil Kepala Sekolah SMPN Satap Kurubhoko Amatus Noy, S.Pd yang dimintai komentar vigonews.com terkait dengan kegiatan HPS yang melibatkan siswa dan keinginan adanya kegiatan ekstrakurikuler berbasis desa, pihaknya sedang menyiapkan lahan percontohan untuk siswa sekolahnya. Di atas lahan dengan ukuran beberapa are itu, Amatus mengatakan sedang dipersiapakan untuk menanam berbagai jenis pangan lokal, baik yang masih dibudidaya beberapa keluarga maupun yang sudah punah akan dicari lagi.

“Kita ingin agar sekolah di desa benar-benar mencintai tanah, mencintai pertanian dan produk pangan lokal dengan membudidayakannya. Kita akan kumpulkan jenis-jenis pangan lokal, dan semua akan dibudidaya di kebun contoh. Ini bagian dari kegiatan ekstrakurikuler berbasis desa. Lahan yang kita siapkan akan menjadi tempat bagi siswa untuk dikelola berbasis organik,” kata Amatus. (Emanuel djomba)***

Siswa SMPN Satap Kurubhoko latihan mengolah pangan lokal didampingi ibu-ibu PKK
x

BAJAWA – Kopi Arabika Flores Bajawa (AFB) terus menggeliat. Produk AFB juga tak sedikit merambah pasar dalam negeri hingga eksport. Pengolahan kopi AFB melalui koperasi dan UPH juga menarik perhatian sejumlah daerah untuk datang melakukan studi edukasi di dataran tinggi Ngada.

Selasa (24/10/2017), rombongan Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Bandung tiba di kota dingin Bajawa serangkaian kegiatan studi edukasi. Rombongan yang dipimpin Kadistan Kabupaten Bandung Ir.H.A. Tisna Umaran, M.Si diterima Wakil Bupati Ngada Paulus Soliwoa didampingi Kadistan Kabupaten Ngada Paskalis Wale Bai beserta sejumlah pimpinan SKPD lainnya.

Rombongan yang berjumlah 11 orang itu diterima di Café Maidia. Di etalase kopi AFB yang dikelola Dinas Pertanian Kabupaten Ngada itu, Rombongan Distan Kabupaten bandung mendapat banyak informasi terkait dengan pengelolaan kopi AFB dari hulu sampai ke hilir yang kini sudah menjadi produk ekspor itu.

Pada kesempatan itu, Wabup Soliwoa memberi gambaran secara umum terkait dengan kopi AFB yang sudah menjadi branding dan diekspor hingga ke Amerika, maupun tentang kondisi Kabupaten Ngada secara keseluruhan. Demikian juga Kadistan Kabupaten Bandung Tisna Umaran selain memperkenalkan rombongan yang menyertainya juga memberi gambaran tentang Kabupaten Bandung yang dikenal melalui kopi ‘Preanger’ dan sudah meramaikan pasar lokal Bandung bahkan menembus pasar ekspor ke Australia.

Kedua belah pihak saling sering tentang potensi daerah masing-masing dalam suasana santai penuh keakraban, sembari minum kopi AFB. Melalui sering ini tentu saja kedua daerah saling memperkaya dengan berbagai informasi pembangunan di daerah masing-masing.

Pada kesempatan itu,Tisna Umaran mengatakan pihaknya sudah banyak mendengar tentang kopi AFB. Karena itu berbagai informasi dicoba akses untuk mengetahui tentang AFB.  Dari informasi yang diperoleh, maka niat untuk melakukan studi edukasi diperkuat dengan informasi dan arahan dari Puslitkoka Jember, karena pengelolaan kopi AFB dinilai terbaik dalam kaitan dengan pembinaan petani melalui MPIG.

Terkait dengan studi edukasi tersebut, Kabupaten Bandung ingin melihat dari dekat terkait peran pembinaan para petani melalui pembinaan MPIG, mendapatkan informasi terkait dengan Perda yang secara khusus melakukan perlindungan terhadap kopi dan seputar MoU antara petani kopi dengan eksportir. Tiga hal itu yang kemudian akan menjadi fokus studi edukasi sebagai pembanding dan masukan bagi Kabupaten Bandung dalam mengelola kopi di daerahnya.
 
Wabup Paulus Soliwoa menyerahkan cinderama khas Bajawa kepada Kadistan Kabupaten Bandung Tisna Umaran.
Pada kesepatan itu, Tisna Umaran menambahkan bahwa kopi AFB dan Kopi Bandung bukan sebagai saingan, tetapi sebaliknya kedua produk unggulan di daerah masing-masing ini akan semakin memperkaya khazanah perkopian baik di pasar dalam negeri maupun di luar negeri. Karena, kata Tisna Umaran, studi edukasi semacam ini justru menjadi wahana untuk saling menguatkan satu sama lain. Menurut Tisna, kopi Bandung saat ini memiliki potensi sekitar 1.000 hektare.

Sementara Kopi AFB sebagaimana dikemukakan Kadistan Kabupaten Ngada Paskalis Wale Bai, dari sekitar 12 ribu hektar lahan kopi di Ngada, baru sekitar 5.600 hektar yang dikelola dengan system organic dan kini sudah mengantongi beberapa sertifikat, diantaranya MPIG dan sertifikat organic.

Dari lahan seluas itu, petani kopi berjumlah sekitar 10 ribu, dan yang sudah masuk dalam MPIG baru sekitar 10 persen atau sekitar 1.800 petani kopi. Mereka ini sudah mengelola kopi dari hulu hingga ke hilir sesuai dengan standar prosedur yang layak sebagai produk ekspor.

Terkait dengan kegiatan studi edukasi dari Kabupaten Bandung, Paskalis menjawab vigonews.com memberi apresiasi atas kedatangan ke Ngada. Kedatangn rombongan dari Kabupaten Bandung semakin memperpanjang daftar kunjungan dari daerah-daerah lain yang melakukan studi edukasi tentang pengelolaan kopi AFB di Ngada.

“Kita bangga bahwa dengan segala keterbatasan kita sangat optimal melakukan pembinaan kepada petani, meski dari sisi anggaran sebenarnya kita minim. Tetapi dengan sumber daya terbatas malah ada kolaborasi yang baik membangun kebersamaan sehingga kopi Bajawa memiliki branding,” jelas Paskalis.
 
Rombongan Distan Kabupaten Bandung bersama Wabup Ngada Paulus Soliwoa
Soal masih banyak petani yang belum terwadahi dalam MPIG, akan terus didorong agar mereka dapat mengelola kopi dari hulu hingga hilir sesuai standar. Saat ini sejumlah UPH terus melakukan sosialisasi pentingnya para petani masuk dalam wadah ini. “Kita berharap tahun 2018 nanti,  jumlah petani kopi yang terwadahi mencapai 3000 petani,” kata Ali sapaan akrab kadistan Ngada ini.

Dalam sering dengan rombongan Kabupaten bandung, Paskalis mengatakan mendapat informasi baru. Misalnya saja, di Bandung pemerintah menyediakan dana talangan sebesar Rp 5 miliar bagi para petani sehingga mereka memiliki kecukupan modal untuk berproduksi secara kontinyu.

Di Ngada saat ini sebenarnya yang menjadi kendala banyak petani belum masuk wadah MPIG karena prosesnya yang cukup panjang membuat mereka harus menunggu untuk mendapatkan uang. Kebanyakan petani kopi ingin dapat uang cepat karena kebutuhan mendesak. Tidak heran jika banyak petani yang menjual kopi gelondong merah sesaat setelah panen.  Untuk mengatasi hal ini, kata Paskalis, di Ngada perlu ada kebijakan anggaran, secacam hibah kepada koperasi UPH guna mengatasi masalah saat panen.

Usai melakukan dialog,  dilakukan tukar-menukar cinderamata yang antara  Wabup Soliowa, Kadistan Ngada Paskalis Wale Bai dengan Kadistan Kabupaten bandung Tisna Umaran. Selanjutnya rombongan Kabupaten Bandung menuju UPH Fa Masa. Dari sana rombongan juga mengunjungi obyek wisata Kampung tradisional Bena. (ch)***

Insert foto: Suasana diskusi rombongan studi edukasi dari Kabupaten Bandung setelah diterima Wakil Bupati Ngada Paulus Soliwoa didampingi sejumlah pimpinan SKPD.

Friday 20 October 2017


WOLOMEZE -  UPTD Puskesmas Natarandang menjadi salah satu dari 12 puskesmas di Kabupaten Ngada yang sudah dinyatakan terakreditasi. Puskesmas yang terletak di Kecamatan Wolomeze, Kabupaten Ngada ini, melalui perjuangan pelik mencapai prestasi dalam pelayanannya yang ditandai dengan meraih predikat Akreditasi Madya.

Dari 14 UPTD Puskesmas di Kabupaten Ngada, menyisakan dua Puskesmas yang kini sedang bersiap-siap untuk diakreditas. Jika dua dari 14 puskesmas akhirnya terakreditasi juga, maka semua puskesmas di Kabupaten Ngada sudah dinyatakan terakreditasi. Para pelayan bidang kesehatan memang terus bekerja ekstra untuk memenuhi semua apek penilaian yang disyaratkan agar terakreditasi, maupun untuk mempertahankannya melalui pelayanan terbaik.

Terakreditasi menjadi salah satu bukti bahwa jajaran kesehatan di Kabupaten Ngada, khususunya Puskesmas Natarndang yang baru saja meraih sukses ini terus membangun komitmen melakukan pelayanan sesuai standar kesehatan.  “Itu sebabnya, akreditasi bukan akhir dari perjuangan, tetapi baru awal perjalanan panjang ‘pelayanan dengan kasih tanpa batas’ di jajaran kesehatan,” kata Sekdin Kesehatan Kabupaten Ngada Jack Mawo dalam sambutannya ketika menyerahkan sertifikat terakreditasi di Natarandang, Jumat (20/10/2017).

Dengan terakreditasi Madya, Puskesmas mengalami lompatan ‘tinggi’, karena prestasi dalam pelayanan tidak melalui akreditasi dasar – mengingat nilainnya melampaui syarat akreditasi dasar. Prestasi yang diraih tidak sampai di sini, karena masih ada predikat lebih tinggi di atasnya seperti yang sudah diraih Puskesmas Kota di Bajawa, yakni Akreditasi Utama. Bahkan prestasi tertinggi Akreditasi Paripurna yang kini menjadi cita-cita banyak puskesmas di Ngada. Waepana menjadi puskesmas pertama di NTT yang terakreditasi.

Dikatakan Jack Mawo, untuk mencapai akreditasi Madya, Puskesmas harus memenuhi  772 elemen penilaian yang dibagi dalam Sembilan bab, dengan rincian aspek manajemen, aspek klinis, terakhir aspek UKP dan UKM, dengan masing-masing aspek terdiri atas tiga bab.

Dirincikan Jack Mawo, predikat Tidak terakreditasi Bab I, II ≤ 75 %, Bab IV, V, VII ≤ 60 %, Bab III, VI, VIII, IX ≤ 20 %. Terakreditasi Dasar: Bab I, II ≥ 75 %, Bab IV, V, VII ≥ 60 %, Bab III, VI, VIII, IX ≥ 20 %. Terakreditasi Madya: Bab I, II, IV, V ≥75 %, Bab VII, VIII ≥ 60 %, Bab III, VI, IX ≥ 40 %. Terakreditasi Utama: Bab I, II, IV, V, VII, VIII ≥ 80 %, Bab III, VI, IX ≥ 60 %. Dan, Terakreditasi paripurna: semua Bab meraih skor ≥ 80.

Diraihnya akreditasi madya, bagi puskesmas Natarandang terbilang menggembirakan bagi para pelayan kesehatan yang mencakup delapan desa di Kecamatan Wolomeze itu. Jajaran puskesmas yang dipimpin Dominikus Keo itu langsung ‘terobos’ ke akreditasi madya, padahal banyak puskesmas mendahului prestasi dengan meraih akreditasi dasar.

Sukacita dan kegembiraan itu terwujud dalam bentuk sujud syukur. Jumat (20/10/2017) ‘awak’ Puskesmas Natarandang Merayakan Misa Syukur yang dipimpin Pastor Paroki Cor Jesus Wangka Rm. Filter Pendy, Pr dan Pastor rekan dari Paroki Maria Ratu Para Malaikat Kurubhoko, P. Leonardus Hambur, OFM.
 
Penyerahan serrtifikat akreditasi oleh Sekdin Kesehatan Kabupaten Ngada Jack Mawo kepada Kepala UPTD Puskesmas Natarandang ominikus Keo.
Hadir pada saat perayaan syukur yang ditandai dengan penyerahan sertifikat kareditasi madya dan sertifikat lainnya, Camat Wolomeze Kasmin Belo, Sekdin Kesehatan Kabpaten Ngada Jack Mawo, anggota DPRD Ngada yang juga Ketua BPP Puskesmas Natarandang Yohanes Munde, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wolomeze Theodorus Tege, para kepala sekolah, para kepala, BPD, tokoh masyarakat dan undangan lainnya.

Pada kesempatan itu Sekdin Kesehatan Kabupaten Ngada, Jack Mawo menyerahkan empat sertifikat, masing-masing sertifikat akreditasi madya, IMB, ijin operasional dan piagam risest tenaga kesehatan. Keempat sertifikat tersebut diterima Kepala UPTD Puskesmas Natarandang Dominikus Keo disaksikan Camat Wolomeze Kasmin Belo, Ketua BPP Yan Munde, dan undangan lainnya yang hadir.

Kegiatan dengan tema “Dalam Kebersamaan ada Persekutuan Roh, maka Sempurnakan Sukacitamu dengan Sehati, Sepikir dan Setujuan’ menjadi spirit bagi para pelayanan kesehatan di puskesmas ini, dalam jalinan kersama dengan semua elemen. Karena itu, sukses mencapai predikat akreditasi madya adalah kesuksesan yang terwujud dari sinegisistas dengan berbagai elemen itu. Penilaian tim akreditasi merujuk bukan kepada aspek klinis semata tetapi juga manajemen pelayanan dan aspek partisipasi  masyarakat terutama dalam menumbuhkan Usaha Kesahatan Personal (UKP) dan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM).

Kepala UPTD Puskesmas Natarandang Dominuks Keo dalam sambutannya, mengatakan presasi ini bukan puncak pelayanan, tetapi menjadi indikator bahwa pelayanan kita sudah memenuhi standar pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Karena itu, Dominikus mengajak semua jajarannya dan berbagai elemen yang terlibat baik secara langsung maupun tidak agar terus meningkatakan kerja sama dan melakukan pelayanan dengan kasih dan tanpa batas.

Dia juga mengatakan, segala kiritikan dan saran akan selalu diterima dengan senyum dan tangan terbuka demi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Di Puskesmas saat ini disediakan tiga kotak saran yang dibuka sebulan sekali. “Dari sini kami bisa tau apa keluhan, saran sehingga menjadi landasan bagi kami untuk evaluasi dalam melakukan pelayanan,” kata Dominikus.

Di Bagian lain, Ketua BPP Puskesmas Natarandang Yan Munde  mengatakan,  dengan akreditasi madya kita naik peringkat lebih tinggi. Semua ini  karena ada kerja sama semua pihak untuk kemajuan yang melahirkan pelayanan terbaik.

“Kerja perlu datang dari hati, sebagai sebuah panggilan. Pelayanan dengan kasih tanpa batas. Tanpa hitung untung atau rugi,” tambah Jack Mawo yang juga menyampaikan penambahan pembangunan ruang UGD dan sarana lain, termasuk transportasi seperti mobil dan sepeda motor untuk menunjang pelayanan ke desa.
 
'Krew' UPTD Puskesmas Natarandang bersama Rm Filter Pendi, Pr, P. Leonardus Hampur, OFM, anggota BPP Puskesmas Natarandang dan Mentor Puskesmas Don Bosko Panong.
Layanan Cepat

Sementara, Camat Wolomeze, Kasmin Belo memberi apresiasi atas kerja keras UPTD Puskesmas Natarandang memenuhi syarat pelayanan terbaik yang dibuktikan dengan akreditasi madya.  “Kita patut bersyukur untuk predikat yang sudah diraih. Karena itu hari ini kita menyatakan rasa syukur melalui misa kudus,” kata Kasmin sembari membalikan badan membaca tema syukuran di panggung perayaan syukur.

“Kita sudah naik kelas satu tingkat dengan predikat akreditasi madya. Berarti dari sisi pelayanan membuktikan bahwa kita terus bekerja dan melayani semakin lebih baik dari sebelumnya,” kata Kasmin.

Dikatakan, kesehatan seperti tidak berharga atau tidak menarik kalau kita sedang sehat. Sebaliknya  akan dipandang sebagai harga sangat mahal ketika kita sakit. Itu sebabnya berjuang terus dengan pelayanan terbaik dan mendorong serta memberi penyuluhan kepada masyarakat bahwa kesehatan itu penting. Kesadaran masyarakat baik dalam UKP maupun UKM menjadi standar yang tertinggi bahwa masyarakat itu sehat. Bukan tingginya angka kunjungan di rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Itu malah sebaliknya, sebagi indikator bahwa masyarakat belum sehat.

Kasmin mengajak jajaran UPTD Puskesmas Natarandang agar terus meningkatkan demi memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di kecamatan itu daria waktu ke waktu.  Mesti ada kesadaran bahwa layanan kesehatan juga menjadi hak masyarakat. Karena itu, dalam melayani tidak boleh membedakan-bedakan, sebaliknya harus menyentuh semua elemen masyarakat dengan pelayanan yang cepat. Kasmin juga mengingatkan, dalam pelayanan jangan sampai terhambat hanya gara-gara prosedur.

Menurut Kasmin, predikat akreditasi madya menjadi daya dorong atau spirit bagi  petugas kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan. “Kita boleh bergembira dengan prestasi ini, tetapi jangan cepat puas. Sebaliknya terus termotivasi dan berkreasi dan berinovasi,” pinta Kasmin. (Emanuel djomba)***

Insert foto: 'krew' UPTD Puskesmas Natarandang, Kecamatan Wolomeze

Tuesday 17 October 2017


KURUBHOKO – Rangkaian Hari Pangan Sedunia (HPS) digelar dan direfleksi oleh Gereja Katolik, Paroki Maria Ratu Para Malaikat (MRPM) Kurubhoko, 14 – 16 Oktober lalu. Ini pertama terjadi di Paroki yang baru diresmikan 11 September 2017 lalu. Kegiatan ini dimotori imam-imam OFM yang melayani paroki itu, bekerja sama dengan Yayasan Puge Figo, Pemerintah Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze dan simpatisan dari Kecamatan Soa dan Bajawa Utara (Batara).

Kegiatan yang dibuka oleh Provinsial OFM Provinsial St. Mikhael Indonesia Pater Mikhael Peruhe, OFM diikuti para fungsionaris pastoral, siswa SMPN Satap Kurubhoko, para tokoh masyarakat dan undangan lainnya.  Pater Mikhael secara khusus datang ke Kurubhoko setelah mengunjungi Komunitas OFM di Atambua, karena kepedulian OFM pada pertanian organik dengan kampanye ketahanan pangan.

Serangkaian HPS tersebut, dibuka dengan sesi seminar bertema: “Pertanian Organik Sebagai Jalan Terang – Mengembalikan Pangan Lokal ke Kebun Kita”, penanaman 100 anakan pohon di  di lahan pertanian terpadu gereja, Sabtu (14/10/2017), Misa HPS, dan pengumpulan berbagai jenis pangan lokal, minggu (15/10/2017) dan demo pengolahan pangan lokal oleh siswa SMPN Satap Kurubhoko didamping ibu-ibu PKK, Senin (16/10/2017).

Pater Thobias Harman, OFM dalam materinya ‘Memahami HPS dari Perpektif Iman Katolik’ mengawali sesinya dengan pertanyaan: ‘Mengapa Gereja Katolik terlibat dalam HPS setelah setahun ditetapkan oleh PBB tahun 1981?. Gereja katolik selalu berefleksi pada momen HPS bukan mau ikut trendy, atau ikut arus dunia, tetapi HPS berlandaskan pada pilar Iman Akan Allah.

Dikatakan Pater Toby yang juga Pastor Paroki Kurubhoko ini, HPS yang berlandas pada pilar iman akan Allah, bahwa Allah kita adalah Allah yang peduli. Allah yang diimani bukan hanya sebagai Allah Yang Maha Besar yang berada jauh dari manusia, tetapi Allah yang karena kasih-Nya peduli pada manusia. Allah yang memberi makan kepada manusia, dalam perjanjian lama dengan memberi makan waha dan mana, dan Allah yang bersabda ‘Akulah Roti Hidup’ – memberi diri sebagaimana dalam perjanjian baru.

Masih pada sesi seminar, Volunter Yayasan Puge Vigo, Kurubhoko – sebuah yayasan yang peduli pada persoalan ekologi – Nao Remond, menyampaikan materi tentang ‘Agroekologi sebagai jalan terang menuju kedaulatan pangan dan kemunitas petani’.

Nao Remond yang juga gencar kampanye budidaya kembali tanaman-tanaman langkah termasuk pangan lokal, memberikan gambaran tentang tema menjadi beberapa bagian, antara lain tentang agroekologi itu sendiri;  agrikultur  bunuh diri atau pertanian konvensional sebagai jalan buntu; jalan terang melalui sikap menghargai keunggulan proses alam dalam produksi pangan; dan membangun kesadaran, jati diri dan kenyamanan masa depan petani.
 
Seminar Pertanian organik dan ketahanan pangan serangkaian HPS di Paroki Kurubhoko menarik perhatian siswa SMPN Satap Kurubhoko
Dikatakan,  perang dunia kedua telah mengubah wajah pertanian dengan  Green Revolution atau perang melawan alam. Pertanian jadi bagian dari sistem kapitalis, beralih dari produksi pangan ke produksi komoditi dagangan. Pertanian konvensional telah menyebabkan hilangnya kedaulatan petani dan produksi pangan, sehingga menghilangkan kemandirian petani dan produksi pangan melalui berbagai cara.

Dari kondisi ini sebenarnya terjadi ‘main mata’ antara  produksi pertanian dan industri, yang telah memaksakan siklus ekonomis baru antara kedua belah pihak, yang melahirkan pertanian bersubsidi, ketergantungan petani kepada industri peralatan pupuk dan obat-obatan, dan karya siabolis terciptanya bibit hybrida: Pencaplokan bibit tanaman asli sehingga membuat petani tak berdaya.

Pada kesempatan itu, Nao mengungkapkan dampak negatif pertanian konvensional, antara lain ditandai dengan mengurangi tenaga kerja; monokultur dan kerusakan keaneka ragaman hayati; mematikan kehidupan lahan/tanah; mencemarkan sumber air dan lingkungan; menyebabkan erosi dan dampak buruk terkait; membahayakan kesehatan manusia; dan menjauhkan petani dari realitas alam dan ekologi kehidupan. Lahan pertanian konvensional  tanpa humus, kurus, cepat kering, mudah terkena erosi dan tanpa kehidupan.

Di bagian akhir sesinya Nao Remond mengemukakan,  Agroekologi sebagai jalan terang menuju kedaulatan pangan dan komunitas petani. Cukup gunakan pertanian organik saja, dengan potensi yang dimiliki di tanah kita, karena pertanian organik lebih toleran terhadap alam dan manusia sehingga menjamin hidupnya rantai siklus ekologi. Meghargai rantai produksi adalah jalan terang.

Melalui pertanian konvensional, manusia meracuni dirinya sendiri.  Pertanian konvensional atau pola budidaya yang kurang bersahabat dengan alam dan lingkungan tidak punya masa depan. Dalam sistem ini hewan saja enggan menyentuh makanan beracun, tetapi manusia dengan tau dan mau makan-makanan dari tanah olahan yang beracun.

‘Kalau begini kondisinya, apakah orang masih nyaman mengucapkan selamat makan? Atau sebaliknya karena yang tersaji di meja makan semuanya beracun, sebenarnya setiap hari kita sedang mengucapkan ‘selamat tinggal kehidupan. ‘ kata Nao Remond yang disambut seloroh peserta seminar.

Tergantung Pada Beras

Sementara di bagian lain, kepala Desa Nginamanu, Yohanes Donbosco Lemba menyampaikan kondisi seputar ketahanan pangan di desa yang dipimpinnya. Menurut Donbosco, Desa Nginamanu memiliki potensi untuk maju. “Dilihat dari potensi yang ada sebenarnya kita tidak miskin, hanya kita belum memanfaatkan semua potensi yang dimiliki dengan baik,” katanya.

Di bagian lain, tokoh masyarakat Nginamanu, Kornelis Nuwa menegaskan, terkait dengan ketahanan pangan di desa Nginamanu, sebenarnya di saat-saat tertentu harus beli bahan pangan seperti beras, ini menunjukkan ketahanan pangan lemah. Ini disebabkan ada pergeseran system pertanian yang selama ini hanya mengandalkan sawah. Kebun sudah semakin sempit, meski lahan cukup luas. Tidak heran jika tidak ada pangan lokal yang dihasilkan dari kebun/ladang.

Kornelis juga menyoroti penggunaan pupuk kimia selama ini sebanarnya mendominasi pertanian sawah. Mantan kepala desa ini, mengatakan hampir pasti Ladang tidak tersentuh pupuk kimia. Soalnya sekarang adalah bahwa minat petani mengelola kebun/ladang semakin surut. Sehingga dikatakan krisis pangan karena beras masih menjadi sumber kehidupan dan biaya dalam keluarga. Tidak heran jika beras habis, maka orang akan ijon sambil menunggu musim panen sawah berikutnya.
 
Latihan pengelolaan pangan lokal yang diikuti siswa SMPN Satap Kurubhoko mendapat pendampingan Ibu PKK dan Ibu-ibu Paroki Kurubhoko.
Karena itu kornelis menggugah para peserta seminar dan umat di Paroki Kurubhoko agar mulai sadar dengan pola berkebun yang baik dan berkelanjutan. Kalau hanya tunggu ada gerakan dulu, tidak akan bisa mencapai ketahanan pangan.

Terkait dengan kampanye organik bagi petani, Paroki Kurubhoko mengdepankan pastoral ekologi/organik dalam pemberdayaan ekonomi umat tahun 2018. Karena itu masukan dalam seminar HPS dan berbagai kegiatan akan dibawa pada Sidang Pleno Paroki yang dijadikan arah karya pastoral ke depan. Guna mendukung itu, kini Paroki yang dilayani imam-imam OFM itu mulai mendisain dan mengolah lahan seluas 9 hektare sebagai pusat studi pertanian terpadu berbasis organik. (ch)***

Insert foto: dari kiri: Yohanes Donbosco Lemba, Nao Remond, dan Pater Tobias Harman, OFM.